BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi
yang semakin baik menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor perbankan menjadi
meningkat. Hal tersebut ditandai dan dibuktikan dengan banyaknya pemberian dan
pengikatan kredit yang dilakukan oleh perbankan (kreditor) dengan para
nasabahnya (debitor).
Perbankan
adalah tempat di mana jasa Notaris dibutuhkan oleh masyarakat yang membutuhkan
pembuktian tertulis yang dituangkan dalam akta otentik yang melibatkan antara
bank dan nasabah, guna menjamin kebenaran dari isi yang kemudian disebut
perjanjian kredit, agar secara publik kebenaran dan pembuktiannya tidak
diragukan lagi.
Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Sebagai salah satu usahanya adalah memberikan
fasilitas kredit kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman uang.
Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan).
Guna
menjamin pelunasan utang tersebut diperlukan alat pengaman bagi Kreditur, salah
satu bentuk pengaman kredit yang paling mendasar dalam pemberian fasilitas
kredit antara lain adalah objek jaminan, disamping kemampuan seorang Debitur,
pemberian fasilitas kredit oleh Bank kepada Debitor sangat diperlukan untuk
memperluas usaha Debitor, sesuai dengan fungsinya sebagai penyalur kredit.
Kebutuhan akan dana atau umumnya dalam dunia
perbankan Indonesia disebut kredit seringkali dikaitkan dengan adanya jaminan
demi pengamanan pemberian dana atau kredit itu sendiri. Jaminan adalah hal yang
urgen dalam membuat dan melaksanakan
perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang, serta melindungi kepentingan
para pihak khususnya kreditor (bank).
Perjanjian
kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya, perjanjian jaminan fidusia disebut
dengan perjanjian assesoir karena
perjanjian jaminan fidusia didahului dengan perjanjian hutang piutang atau
kredit di mana bank dalam memberikan suatu kredit dilandasi dengan jaminan dari
debitor guna memberikan suatu kepastian kepada bank untuk pelunasan hutang dari
debitor jika debitor wanprestasi.
Perjanjian
assesoir tersebut pada prinsipnya
dibuat secara terpisah dengan perjanjian pokoknya. Untuk menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum dari debitor, pengikatan jaminan tersebut tidak
hanya dibuat secara tertulis melainkan dibuat secara otentik, akta otentik mana
dibuat dengan akta Notaris dan/atau PPAT.
Bentuk-bentuk
pengikatan jaminan dapat dibedakan menjadi Hak Tanggungan, Fidusia, Gadai,
Hipotik, Borgtocht (jaminan
perorangan). Salah satu dari bentuk
pengikatan jaminan tersebut dibuat secara notariil, kewenangan tersebut tertuang
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut dengan UUJF) bahwa “pembebanan
benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dengan bahasa Indonesia
dan merupakan akta jaminan fidusia”.
Landasan
aturan Lembaga Jaminan Fidusia diatur oleh UUJF, dan Peraturan Pemerintah Nomor
86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Biaya Pendaftaran Jaminan
Fidusia (selanjutnya disebut PPTF) . Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dengan konsep penyerahan benda
atas dasar kepercayaan (fiduciary
Transfer of Ownership/Fiduciare Eigendom Overdracht. Jaminan fidusia ini
memberikan kedudukan yang diutamakan (privilege)
kepada penerima fidusia yang memiliki hak terdahulu (preferen) terhadap kreditor lainnya. Benda yang menjadi objek tersebut
berada pada penguasaan debitor yang kemudian dikenal dengan asas droit de suite.
Eksistensi
notaris di kalangan pejabat umum (openbaar
ambtenaar) adalah untuk mengakomodir
segala hal yang berkaitan dengan hukum keperdataan. khususnya kebutuhan
masyarakat akan pembuktian dengan dilandasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 ayat (1) bahwa notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.
Kewenangan
notaris sebagaimana dimaksud UUJN dengan profesinya sebagai pembuat akta
otentik disertai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang begitu
pesat dan dinamis telah meningkatkan
intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang tentunya memerlukan kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal
ini lah yang menjadi landasan filosofis dari terbentuknya UUJN melalui produk
yang dikeluarkan oleh notaris yaitu akta otentik guna menjamin kepastian hukum
dan perlindungan hukum setiap pengguna jasa Notaris.
Ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata yang menegaskan bahwa :
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu
dibuat”.
Secara
khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (7) UUJN bahwa :
“Akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”
Akta
sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan dalam pengertian
akta maka surat harus ditanda tangani. Keharusan untuk ditandatanganinya surat untuk dapat
disebut sebagai akta berasal dari Pasal 1869 BW.[1]
Keharusan
adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dengan
akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Fungsi tanda tangan
adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang
dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibubuhkan pada
akta-akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan
huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak tampak
ciri-ciri atau sifat-sifat pembuat.[2]
Mekanisme
penandatanganan akta notariil tidak hanya terbatas pada persoalan bahwa akta
tersebut harus ditandatangani namun, penandatangan akta tersebut juga harus di
hadapan notaris sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN
bahwa “membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
dua (2) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan notaris”. Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l tersebut adalah
kewajiban notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN.
Membacakan
akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian akta di
mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut
dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi
akta dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani tentunya
di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi.
Kemudian
hal di atas ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 44 UUJN menentukan bahwa:
(1) Segera
setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani oleh setiap penghadap,
saksi dan notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan
tanda tangannya dengan menyebutkan alasannya;
(2) Alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta;
(3) Akta
sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (3) ditanda tangani oleh penghadap,
notaris dan saksi dan penerjemah;
(4) Pembacaan,
penerjemahan atau penjelasan dan penadatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan secara
tegas pada akhir akta.
Hal
di atas merupakan salah satu kewajiban dari seorang notaris sebagaimana
tertuang dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN di mana jika notaris tidak
memenuhi kewajibannya tersebut, maka Konsekuensi yang diimplementasikan oleh
UUJN adalah terdegradasinya akta tersebut menjadi akta di bawah tangan atau
akta tersebut akan kehilangan otentisitasnya sebagaimana tertuang dalam Pasal
16 ayat (8) UUJN. hal tersebut akan berdampak pada perlindugan dan kepastian
hukum yang merugikan para pihak itu sendiri, dalam hal ini adalah kreditor dan
debitor. Di mana akta otentik tersebut tidak lagi menjadi alat bukti yang
sempurna melainkan hanya sebagai alat bukti akta di bawah tangan.
Penegasan
ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN telah memberikan penekanan terhadap proses
peresmian akta dari pembacaan sampai pada penandatanganan akta yang harus
dilakukan di hadapan notaris, namun dalam kenyataannya disinyalir dengan mengingat bahwa dalam hal
jika seorang notaris yang memiliki kerjasama dengan beberapa bank dan Lembaga
Pembiayaan, notaris mana dalam keadaan membuat pengikatan jaminan fidusia
dibeberapa bank dan Lembaga Pembiayaan di mana pengikatan tersebut terjadi pada
hari yang sama dan pada waktu yang bersamaan.
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut dalam tesis ini.
B.
Rumusan
Masalah :
1. Apakah
implikasi hukum terhadap penandatanganan Akta Pembebanan yang tidak dilakukan
di hadapan notaris ?
2. Bagaimanakah
efektivitas pelaksanaan penandatanganan Akta Pembebanan yang harus dilakukan di
hadapan notaris ?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui dan memahami tentang implikasi hukum terhadap penandatanganan Akta
Pembebanan yang tidak dilakukan di hadapan notaris.
2. Untuk
mengetahui dan memahami tentang effektifitas dari penandatanganan Akta
Pembebanan yang harus dilakukan di hadapan notaris.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Secara
Teoritis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran pada bidang hukum terutama yang berkaitan tentang implikasi hukum
terhadap penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan Notaris.
2. Secara
Praktis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap Notaris dan masyarakat tentang pentingnya penandatangan akta
yang dilakukan di hadapan Notaris serta implikasi hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan penandatanganan akta.
3. Bagi
para akademisi semoga penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap penandatanganan akta yang tidak dilakukan di
hadapan Notaris agar kedudukan dan aturan hukumnya teregulasi, menjadi lebih
jelas dan tegas.
E.
Keaslian
Penelitian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan
Laporan Tesis berdasarkan hasil pemikiran dan pemaparan asli dari penulis
sendiri, baik dari naskah laporan maupun kegiatan Programing yang
tercantum sebagai bagian dari Laporan Tesis ini penelitian dengan judul
“IMPLIKASI HUKUM PENANDATANGANAN AKAD KREDIT DI PERBANKAN YANG TIDAK DILAKUKAN
DI HADAPAN NOTARIS”. Jika terdapat karya orang lain, penulis akan mencantumkan
sumber secara jelas. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan
apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam
pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini dan sanksi lain sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Makassar,……………….2012
( AL FAJRI )
NIM : P3600210001
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Ruang
Lingkup Akad Kredit di Perbankan
1.
Pengertian
akad kredit perbankan
Mengenai
pengertian perjanjian kredit bank tidak dirumuskan dalam UU Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan. Dari pengertian kredit sebagaimana termuat dalam ketentuan
Pasal 1 angka 11 UU Nomor 10 Tahun 1998, bahwa “Kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Dari
isi Pasal tersebut di atas diketahui, bahwa bentuk hubungan hukum antara bank
dan nasabah adalah pinjam-meminjam dana yag dilandasi oleh kesepakatan di mana
peminjam dana biasa disebut dengan debitor dan bank adalah kreditor, yang
merupakan bagian dari pengertian kredit itu sendiri.
Djoni
S. Gazali berpendapat bahwa, bahwa kelahiran pemberian kredit bank itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam uang antara bank
sebagai kreditor dan pihak lain nasabah peminjam dana atau debitor dalam jangka
waktu tertentu, yang telah disetujui atau disepakati bersama dan pihak peminjam
mempunyai kewajiban untuk melunasi utangnya tersebut dengan memberikan sejumlah
bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.[3]
Menurut
Ch. Gatot Wardoyo bahwa perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi,
diantaranya:[4]
1) Perjanjian
kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan
sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
2) Perjanjian
kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban
di antara debitor dan kreditor;
3) Perjanjian
kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Lebih
lanjut dijelaskan oleh Muhammad Djumhana bahwa suatu kredit mencapai fungsinya
apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitor, kreditor, maupun masyarakat
membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Maksudnya, baik bagi pihak
debitor maupun kreditor mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat
tergambarkan apabila mereka memperoleh keuntungan juga mengalami peningkatan
kesejahteraan, dan masyarakat pun atau negara mengalami suatu penambahan dari
penerima pajak, dan masyarakat pun atau negara mengalami suatu penambahan dari
penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro.
Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam
kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :[5]
a. Meningkatkan
daya guna uang.
b. Meningkatkan
peredaran dan lalu lintas uang.
c. Meningkatkan
daya guna dan peredaran uang.
d. Salah
satu alat stabilitas ekonomi.
e. Meningkatkan
kegairahan berusaha.
f. Meningkatkan
pemerataan pendapatan.
g. Meningkatkan
hubungan internasional.
2.
Bentuk
dan dasar hukum perjanjian kredit perbankan
a.
Bentuk
perjanjian kredit perbankan
Di
dalam KUHPerdata tidak ada ketentuan tentang bagaimana seharusnya bentuk suatu perjanjian,
artinya perjanjian dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis dan
perjanjian tidak tertulis. Di dalam perjanjian kredit juga tidak ada ketentuan
bahwa perjanjian kredit harus dalam bentuk tertentu.[6] Dalam praktik untuk
memjamin kepastian dan perlindungan hukum dari kedua belah pihak, maka
perjanjian kredit tersebut dibuat secara tertulis.
Menurut
Tan Kamello bahwa KUHPerdata menentukan pedoman umum bahwa perjanjian harus
dibuat dengan kata sepakat kedua belah pihak. Kata sepakat tersebut dapat
berbentuk isyarat, lisan, dan tertulis. Dalam bentuk tertulis, perjanjian dapat
dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam praktik bank,
bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan dan akta
otentik (akta Notaris).[7]
Dalam
praktik perbankan, perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis,
karena perjanjian kredit secara tertulis lebih aman bagi para pihak
dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat
mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang
kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau
juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.[8]
Dasar
hukum perjanjian kredit juga dapat dijumpai dalam:
a. Instruksi
Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang
Perkreditan tanggal 3 Oktober 1996 juncto
Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober
1996, Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20
Oktober 1996 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6
Februari 1967, yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit
dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan
nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam
memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad
kreditnya.
b. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 27/7/UPPB taggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa
setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan
dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.
Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tersebut, maka pemberian kredit
bank wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta
dibawah tangan maupun dengan akta Notariil. Perjanjian kredit di sini berfungsi
sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, dan
pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak
dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank
terjamin dengan sebaik-baiknya.
Oleh
karena itu, sebelum pemberian kredit bank, bank harus sudah memastikan bahwa
seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit bank yang bersangkutan telah
diselesaikan dan memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.[9]
Perjanjian
kredit bank merupakan perjanjian baku (standar
contract), di mana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit bank tersebut
telah dilakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak
terikat kepada suatu bentuk tertentu (vorn
vrij). Hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan dan persyaratan perjanjian
kredit telah dilakukan terlebih dahulu oleh pihak perbankan. Calon nasabah
debitor tinggal membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi
perjanjian kredit tersebut, dan tidak memberikan kesempatan kepada calon
debitor untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul yang diajukan
pihak bank. Perjanjian kredit bank yang distandarkan ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini,
kedudukan calon debitor sangat lemah, maka menerima saja ketentuan dan
syarat-syarat yang disodorkan pihak perbankan, karena jika tidak demikian calon
debitor tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.[10]
Menurut
Ahmadi Miru bahwa apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak
seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul
bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal
demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan
tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga
perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh pihak yang kedudukannya
lebih kuat.[11]
Hal
di atas mencerminkan suatu keadaan di mana dalam hal perjanjian kredit pihak
debitor dengan terpaksa menerima klausul-klausul dari perjanjian kredit
tersebut meskipun klausul tersebut tidak berpihak kepada pihak debitor.
Kontrak
baku sama sekali tidak seiring dengan kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat
KUHPerdata) antara kedua belah pihak di mana ada pihak yang terintervensi oleh
keinginan dari pihak lainnya seperti yang dikemukakan di atas, namun dalam
praktek hal ini masih terjadi karena kontrak baku tersebut sangat dibutuhkan
dalam dunia perdagangan yang semakin dewasa ini, terutama oleh karena
penggunaan kontrak baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu.
Menurut
Ahmadi Miru bahwa kontrak baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para
pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat
dalam kontrak baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang
kontrak baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul
dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung
gugat berdasarkan klausul perjanjian tersebut merupakan klausul yang dilarang
berdasarkan Pasal 18 UUPK.[12]
b.
Fungsi
Jaminan dalam Akad Kredit Perbankan
Fungsi
jaminan kredit dalam rangka pemberian fasilitas kredit perbankan berkaitan
dengan kesungguhan pihak peminjam untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan
berhati-hati. Kedua hal tersebut diharapkan akan mendorong pihak peminjam untuk
melunasi utangnnya maka akan dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit
yang mungkin saja tidak diinginkannya karena mempunyai nilai (harga) yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan utang pihak peminjam kepada bank.
Dalam
praktik perbankan umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit
yang disetujui bank. Pihak peminjam diharapkan akan segera melunasi utangnya
kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (aset) yang diserahkannya
sebagai jaminan kredit dalam hal kreditnya ditetapkan sebagai kredit macet.
Menurut
Muhammad Djumhana bahwa dalam pemberian kredit terkait sekali perlunya suatu
jaminan, yaitu keyakinan bahwa debitor akan sanggup untuk melunasi kreditnya.
Di pihak bank untuk mendapatkan keyakinan dari seorang debitor bahwa debitornya
akan dapat melunasi pinjamannya, akan didapatkan apabila pihak bank telah
meneliti dan menganalisis debitor tersebut, baik yang menyangkut kepribadiannya
maupun segi-segi kegiatan usaha dan agunannya, juga segi-segi lainnya.[13]
Hukum
jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan, terutama dalam rangka
pemberian fasilitas kredit yang dilakukannya. Bank sebagai badan usaha yang
wajib dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian tidak terlepas dari ketentuan
hukum yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi kepentingannya.
Jaminan
kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga
sehinga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan memerhatikan
aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Oleh karena itu
diterapkanlah prinsip kehati-hatian yang
dipertegas dalam prinsip 5 C di dalam perbankan guna memberikan perlindungan
bagi bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada nasabah.
Prinsip
5 C yang dimaksud d atas adalah :
1. Character
(karakter debitor)
2. Capital (kemampuan
debitor)
3. Capacity
(kapasitas debitor)
4. collateral (jaminan
debitor)
5. Condition of economy
(kondisi ekonomi debitor)
Dalam
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, menegaskan, bahwa :
“Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan.”
Banyak
hal menegenai jaminan kredit yang dapat dikaitkan dengan ketentuan hukum
jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta seorang yang berutang untuk
menjamin utangnya. Bank pemberi kredit hendaknya sepenuhnnya memahami dan
mematuhi ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut untuk mengamankan
kepentingannya sebagai pihak yang yang berpiutang. Ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada waktu bank melakukan penilaian calon
nasabah dan ketika melakukan penanganan kredit bermasalah debitor. Pada waktu
melakukan penilaian calon debitor yang mengajukan permohonan kepadanya, bank
seharusnya berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dapat meyakini
harta yang dimiliki oleh calon debitor untuk menjamin pelunasan kredit di
kemudian hari. Harta calon debitor adalah semua hartanya yang berupa barang
bergerak dan barang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas kredit yang bersangkutan.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, jaminan
atas kredit yang diterima debitor tidak terbatas pada harta debitor yang telah
dikuasai oleh bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga jaminan. Semua
harta debitor adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam
praktik perbankan mengenai harta debitor sebagaimana yang dimaksud oleh
ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dalam ketentuan perjanjian
kredit.[14]
Menurut
M. Bahsan ada beberapa fungsi jaminan kredit, sebagai berikut :[15]
a. Jaminan
kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit
b. Jaminan
kredit sebagai pendorong motivasi debitor
c. Fungsi
yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan
Adapun kegunaan jaminan
kredit tersebut, yaitu :[16]
a. Memberikan
hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila
debitor melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;
b. Menjamin
agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga
kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan menguraikan diri
sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurag-kurangnya kemungkinan
untuk berbuat demikian dapat diperkecil;
c. Memberikan
dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran
kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan/atau
pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan
kepada bank.
Perjanjian fidusia adalah salah satu
perjanjian dari lembaga jaminan yang seringkali ditemukan dalam praktek dalam
rangka pemberian fasilitas kredit di perbankan yang bersifat hak kebendaan. Hak
kebendaan tersebut adalah memeberikan kekuasaan yang langsung terhadap
bendanya. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud memberikan hak verhal (hak untuk meminta pemenuhan
piutangnya) kepada kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari
debitur untuk pemenuhan piutangnya.
Jaminan fidusia tersebut diatur dalam UUJF,
Jaminan fidusia adalah lembaga jaminan yang dapat digunakan untuk mengikat
objek jaminan yang berupa barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan barang tidak bergerak khsusnya bangunan yang tidak dapat dibebani
Hak Tanggungan, objeknya tetap dalam penguasaan pemiliknya, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 UUJF.
Yang
dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan di sini dalam
kaitannya dengan bangunan rumah susun, sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut
UURS). Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi
fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau
korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan
fidusia.[17]
Jaminan
fidusia tersebut merupakan perjanjian yang lazim dikonstruksikan sebagai
peranjanjian ikutan atau assesoir
dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit, sebagaimana tertuang dalam Pasal
4 UUJF menentukan, bahwa :
“Jaminan fidusia merupakan
perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi
para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Adapun
penjelasan dari Pasal 4 UUJF, menentukan :
“yang dimaksud dengan
prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak
berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang”.
Ketentuan
dalam Pasal 4 UUJF merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi yang berupa
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat
dinilai dengan uang. Dengan demikian ini berarti, bahwa kelahiran dan
keberadaan perjanjian jaminan fidusia ditentukan oleh adanya perjanjian pokok
yang menimbulkan kewajiban dan sekaligus tanggung jawab para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi sebagai akibat terjadinya suatu perikatan.[18] Kata-kata ikutan dalam
ketentuan dalam Pasal 4 UUJF jelas menunjukkan, bahwa fidusia merupakan suatu
perjanjian assecoir.
Dalam
praktik perbankan di Indonesia, perjanjian fidusia ini sering diadakan sebagai
tambahan jaminan pokok, manakala jaminan pokoknya dianggap kurang memenuhi.
Adakalanya fidusia juga diadakan secara tersendiri, dalam arti tidak sebagai
tambahan jaminan pokok, yaitu sebagaimana sering dipakai oleh para pegawai
kecil, pedagang kecil, pengecer dan lain-lain sebagai jaminan kredit mereka
yang diminta pada bank.[19]
Seiring
berkembangnya perekonomian di Indonesia tidak sedikit perusahaan-perusahaan
besar yang menggunakan perjanjian fidusia ini, seperti pabrik-pabrik dll, di
mana jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dalam tangan siapapun benda tersebut berada yang biasa disebut dengan sifat Droit de suite (sifat sebagai hak
kebendaan) sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UUJF.
Droit de suite
merupakan asas hukum yang pada prinsipnya tidak bersumber dari undang-undang,
tetapi bersumber pada rasio keadilan.
Artinya sekalipun undang-undang tidak mengatur tentang hal itu , asas droit de suite telah diakui oleh prinsip
keadilan dalam suatu hubungan hukum. Orang yang tidak mengerti tentang hukumpun
mempunyai pikiran yang sama dengan orang yang sama dengan orang yang mengerti
hukum, bahwa jika suatu perjanjian mengenai suatu benda tertentu, dan pihaknya
telah memenuhi kewajibannya, misalnya membayar harga benda tersebut ( jika
hubungan hukum itu jual beli), atau pihaknya telah memberikan uang pinjaman
pada debitor (jika hubungan hukum itu utang-piutang uang dengan jaminan
kebendaan), berhak mempertahankan benda yang telah dibeli atau yang dijadikan
objek jaminan hutang terhadap semua pihak, dan berhak menuntut benda itu di
manapun dan dalam kekuasaan siapapun. Rasio keadilan itulah yang menjadi dasar
munculnya asas deroit de suit, yang
kemudian diaplikasikan dalam berbagai aturan hukum yang mengatur perjanjian
jaminan kebendaan, seperti ketentuan mengenai hipotek, ketentuan mengenai hak
tanggungan, dan terakhir ketentuan mengenai jaminan fidusia.[20]
Menurut
Rachmadi Usman bahwa prinsip droit de
suite ini dapat dikecualikan, dalam hal kebendaan yang dijadikan sebagai
objek jaminan fidusia berupa benda atau barang persediaan (inventory), seperti barang jadi (finished good) yang diproduksi dan dipasarkan pemberi fidusia.
Pengecualian prinsip droit de suite ini
dinyatakan dalam klausul terakhir ketentuan dalam Pasal 21 UUJF, “kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan Fidusia”. Dengan
demikian berarti sifat hak kebendaan berupa droit
de suite tidak berlaku terhadap benda-benda persediaan, yaitu stok barang dagangan. Pengecualian ini
didasarkan pada sifat kebendaannya berupa barang-barang dagangan, yang memang
untuk didagangkan atau diperjualbelikan, sehingga sifat droit de suite dengan sendirinya tidak dapat diterapkan kepada
kebendaan yang dimaksud.[21]
B.
Konsepsi
Pendaftaran dan Bentuk Akta Jaminan Fidusia yang Dibuat oleh Notaris
1.
Bentuk
akta jaminan fidusia
Secara yuridis ditentukan bahwa akta
perjanjian fidusia dituangkan ke dalam akta otentik oleh Notaris, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UUJF, menegaskan bahwa “pembebanan benda dengan
jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dengan bahasa Indonesia dan
merupakan akta jaminan fidusia”. Dalam hal ini para ahli hukum masih berbeda
pendapat mengenai sifat dari ketentuan tersebut bahwa apakah ketentuan tersebut
tidak berisfat memaksa (fakultatif)
atau memaksa (imperatif), berikut
beberapa pendapat tersebut.
Rumusan kaidah mengenai akta jaminan
fidusia yang dibuat oleh notaris tidak mencerminkan suatu penegasan, sehingga
ada yang menafsirkan bahwa kaidah itu bersifat imperatif dan ada yang menafsirkan hanya bersifat fakultatif. Jika pembuat undang-undang
menginginkan kaidah itu bersifat imperatif
sehingga menjadi kaidah yang
bersifat perintah, maka harus dirumuskan dengan “pembebanan benda jaminan harus
dibuat dengan akta notaris”. Atau menambahkan suatu ayat pada pasal itu dengan
kalimat “Pembebanan benda yang tidak dibuat dengan akta Notaris tidak dapat
didaftar”.[22]
Dengan adanya tambahan ayat yang
berbunyi seperti konsep tersebut, maka pembebanan benda jaminan fidusia menjadi
wajib dengan akta notaris, sekalipun tidak terdapat kata “wajib” atau “harus”,
karena ancaman tidak dapat didaftar merupakan sifat dari rumusan kaidah yang imperatif, yaitu mengandung sanksi jika
tidak dilaksanakan.[23] Penegasan dari pendapat
tersebut bahwa untuk menentukan suatu perundang-undangan yang bersifat imperatif adalah jika dalam suatu
perundang-undangan tidak ada redaksi kata “wajib” atau “harus” maka, sanksi
juga merupakan kaidah yang impertaif.
Oleh karena itu salah satu dari kaidah tersebut menentukan dari sifat
memaksanya suatu perundang-undangan.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofyan
bahwa dalam praktiknya bentuk perjanjian fidusia tidak terikat oleh bentuk
tertentu. Untuk kredit-kredit dalam jumlah besar dan dengan tanggungan
barang-barang yang berharga, maka biasanya perjanjian fidusianya dituangkan
dalam akta notaris, misalnya berupa fidusia atas pabrik atau gedung perusahaan
di atas tanah hak sewa atau hak pakai. Adapun untuk perjanjian-perjanjian
kredit kecil dituangkan dalam bentuk formulir tertentu, yang memuat rumusan
perjanjian fidusia, dikaitkan atau merupakan perjanjian membuka kredit, yang
berstatus sebagai perjanjian pokok. Karenanya dari kenyatannya, perjanjian
fidusia tidak merupakan perjanjian pokok, senantiasa dikaitkan dengan
perjanjian peminjaman uang, berfungsi sebagai jaminan yang diadakan secara
khusus antara para pihak.[24]
Menurut
Rachmadi Usman bahwa dari bunyi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UUJF, dapat
diketahui bahwa sesungguhnnya tidak mensyaratkan adanya “keharusan” atau
“kewajiban” pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dituangkan dalam bentuk
akta notaris, sehingga dapat ditafsirkan bahwa boleh-boleh saja pembebanan
dengan jaminan Fidusia tidak dituangkan dalam bentuk akta notaris.[25]
Menurut
J. Satrio juga bahwa dari redaksi Pasal 5 sub 1 UUJF tidak bisa menafsirkan
kalau ketentuan tersebut bersifat memaksa. Kalau memang menjadi maksud dari
pembuat undang-undang untuk mewajibkan penuangan akta fidusia di dalam bentuk
akta Notariil, maka ia seharusnya menuangkan perumusan Pasal 5 sub 1 UUJF dalam
bentuk ketentuan yang bersifat memaksa, baik dengan mencantumkan kata “harus”
atau “wajib” di depan kata-kata dibuat dengan akta Notaris. Apalagi kalau
dihubungkan denga Pasal 2 UUJF yang mengatakan, bahwa UUJF berlaku untuk setiap
perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang
memberikan petunjuk, bahwa diluar jaminan fidusia seperti yang diatur dalam
UUJF, masih ada perjanjian penjaminan fidusia yang lain, kiranya sulit untuk
diterima, bahwa ketentuan tersebut merupakan ketentuan hukum yang bersifat
memaksa. Pasal 37 UUJF memperkuat dugaan tersebut, karena menurut ketentuan
tersebut, sekalipun semua perjanjian fidusia yang telah ada, perlu disesuaikan
dengan UUJF, tetapi syarat Pasal 5 sub 1 dikecualikan.[26]
Berbeda
dari apa yang dikemukakan oleh Tan Kamello bahwa penegasan perjanjian jaminan
fidusia dengan akta notaris oleh pembentuk UUJF harus ditafsirkan sebagai norma
hukum yang memaksa (imperatif bukan bersifat
fakultatif), artinya apabila
perjanjian jaminan fidusia dilakukan selain dalam bentuk akta notaris, secara
yuridis perjanjian jaminan fidusia tersebut tidak pernah ada. Hal ini akan
semakin jelas dikaitkan dengan proses terjadinya jaminan fidusia ketika
dilakukan pendaftaran dikantor pendaftaran fidusia. Permohonan pendaftaran
fidusia harus dilengkapi dengan salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan
fidusia. Konsekuensi yuridis selanjutnya adalah merupakan kelahiran jaminan
fidusia.[27]
Menurut
J. Satrio bahwa Pasal 5 sub 1 tersebut di atas juga bisa ditafsirkan, bahwa
terhitung sejak berlakunya UUJF, untuk pelaksanaan hak-hak daripada pemberi dan
penerima fidusia “sebagai yang disebutkan dalam UUJF”, harus dipenuhi syarat,
bahwa jaminan fidusia itu harus dituangkan dalam bentuk Notariil. Ini tidak
sama mengatakan bahwa semua jaminan fidusia yang tidak dituangkan dalam bentuk
akta Notariil, yang dibuat sesudah berlakunya UUJF tidak berlaku, sebab bisa
saja terhadap jaminan fidusia seperti ini berlaku ketentuan-ketentuan tidak
tertulis dan yurisprudensi yang selama ini berlaku. Pasal 37 sub 3 UUJF juga
hanya mengatakan bahwa kalau dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari, jaminan
fidusia yang lama tidak disesuaikan dengan UUJF, maka jaminan itu “bukan
merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”. Dengan demikian akta Notaris di sini merupakan syarat materiil untuk
berlakunya ketentuan-ketentuan UUJF atas perjanjian penjaminan fidusia yang
ditutup para pihak. Di samping sudah tentu juga sebagai alat bukti.[28]
2.
Klasifikasi
Akta Jaminan Fidusia Sebagai Akta Pata Pihak/Partij Akte
Berikut
uraian mengenai hal-hal pokok yang menjadi persyaratan bentuk Akta Jaminan
Fidusia sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 6 UUJF, dinyatakan bahwa
Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UUJF sekurang-kurangnya
memuat :
1. Identitas Pemberi dan Penerima
Fidusia
Dengan
melihat kepada kewajiban notaris untuk mencantumkan identitas penghadapnya
sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 UU Jaminan Fidusia, dan dengan mendasarkan
kepada ketentuan Pasal 38 UU Jabatan Notaris, maka ketentuan Pasal 6 huruf a UU
Jaminan Fidusia hanya berfungsi mengingatkan saja. Karena ada kemungkinan,
bahwa pemberi fidusia adalah pihak ketiga, maka adalah logis dengan
pertimbangan kepastian hukum bahwa dalam hal demikian perlu pula disebutkan
identitas debitor yang bersangkutan, sebab dalam peristiwa seperti itu, pemberi
fidusia dan debitor adalah dua orang yang berlainan.
2. Data Perjanjian Pokok
Dalam
Penjelasan Pasal 6 huruf b UUJF dikatakan bahwa data perjanjian pokok adalah
mengenai macam perjanjian dan hutang yang dijamin. Karena tujuannya adalah demi
kepastian hukum, maka hubungan hukum pokoknya yang dijamin menjadi tertentu.
3. Uraian Tentang Benda Jaminan
Syarat
yang disebutkan dalam huruf c mengenai uraian benda jaminan adalah sayarat yang
logis, karena UUJF memang hendak memberikan kepastian hukum yang hanya dapat
diberikan kalau data-datanya tersaji dengan pasti dan tertentu, di mana syarat tersebut
sesuai dengan asas spesialitas yang dianutnya.
4. Nilai Penjaminan
Nilai
jaminan menunjukkan berapa besar beban yang diletakkan atas benda jaminan.
Syarat penyebutan besarnya nilai penjaminan mempunyai kaitan yang erat dengan
sifat hak jaminan fidusia sebagai hak yang mendahulu atau preferen sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 jo Pasal 27 UU
Jaminan Fidusia.
Penyebutan
nilai penjaminan diperlukan untuk menentukan sampai seberapa besar kreditor
preferen penerima fidusia maksimal dalam mengambil pelunasan atas hasil
penjualan benda jaminan fidusia. Sifat fidusia yang accessoir menyebabkan besarnya tagihan ditentukan oleh perikatan
pokoknya. Dengan kata lain, besarnya beban jaminan ditentukan berdasarkan
besarnya beban yang dipasang (nilai jaminan) tetapi hak preferensinya dibatasi oleh besarnya (sisa) hutang yang dijamin.
5. Nilai Benda Jaminan
Berdasarkan
Pasal 13 UU Jaminan Fidusia, yang mengajukan permohonan pendaftaran adalah
penerima fidusia, jadi yang mencantumkan nilai benda jaminan dalam permohonan
pendaftaran adalah penerima fidusia. Mengenai waktu pendaftaran tersebut dalam
UUJF tidak mengatur hal tersebut namun baru-baru ini telah lahir Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia
Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut PerMenKeu
Tentang pendaftaran Jamiana Fidusia)
pada tanggal 7 Oktober, berdasarkan PerMenKeu tersebut bahwa ketentuan waktu
pendaftaran paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen,
mengenai waktu pendaftaran tersebut akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
berikutnya.
Perbedaan mendasar antara akta relaas dan akta partij
menurut G.H.S. Lumban Tobing antara
lain:[29]
1) Pada akta relaas
misalnya akta berita acara rapat dibuat oleh pejabat, sedangkan pada akta para
pihak, dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat, dimana para pihak meminta
bantuan pejabat untuk mengkonstatir apa yang dikehandaki dalam akta.
2) Pada akta relaas,
pejabat mempunyai inisiatif untuk membuat akta, sedangkan pada akta para pihak,
inisiatif datang dari para pihak sendiri.
3) Akta relaas,
tanda tangan para pihak bukan merupakan keharusan, sedangkan pada akta para
pihak, tanda tangan para pihak merupakan keharusan, jika tidak akan hilang
keotentikannya atau sifat otentisitasnya.
4) Akta relaas
berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat akta itu sendiri,
sedangkan akta para pihak berisikan keterangan yang dikehandaki oleh para pihak
yang menyuruh membuat akta itu.
5) Kebenaran dan isi akta relaas tidak dapat diganggu gugat, kecuali dengan menuduh akta itu
adalah palsu, sedangkan pada akta para pihak kebenarannya dapat digugat tanpa
menuduh kepalsuan akta itu.
6) Bentuk akta relaas berbeda
dangan bentuk akta para pihak, pada bagian awal dan akhir akta.
Penandatanganan
dari para pihak merupakan suatu keharusan pada partij akte/akta para pihak. Pada akta relaas/akta pejabat tidak menjadi soal. Apabila orang-orang
yang hadir menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan
berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas orang-orang yang
hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditanda tangani, maka Notaris
cukup menerangkan dalam akta, bahwa para pemegang saham yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu, dan dalam hal ini akta itu
tetap merupakan akta otentik. Pembedaan kedua akta tersebut penting dalam
kaitannya dengan beban pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran isi dari
akta relaas/akta pejabat tidak dapat
digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada
akta partij/akta para pihak dapat
digugat isinya tanpa menuduh akan kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa
keterangan dari para pihak yang bersangkutan adalah tidak benar, artinya
terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Pembedaan tersebut juga menimbulkan ciri pada
masing-masing akta, maka yang dapat dipastikan secara otentik dalam akta partij/akta para pihak terhadap pihak
lain, adalah:[30]
a. Tanggal
dari akta itu;
b. Tandatangan-tandatangan
yang ada dalam akta itu;
c. Identitas
dari orang-orang yang hadir;
d. Bahwa
apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang diterangkan
oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedang
kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak
yang bersangkutan sendiri.
Berangkat
dari uraian penjelan tersebut di atas, maka perbedaan dari kedua jenis akta itu
dapat dilihat dari bentuk akta tersebut. Pada parti aktej/akta para pihak, undang-undang mengharuskan, dengan
ancaman akan kehilangan otentisitasnya atau dikenakan denda, adanya tandatangan
para pihak yang bersangkutan, atau setidaknya di dalam akta itu diterangkan apa
yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu oleh pihak atau para pihak
yang bersangkutan, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf, atau
tangannya lumpuh, atau sebab lainnya. Keterangan mana harus dicantumkan Notaris
dalam akta itu dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti
tandatangan sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 44 ayat (4) UUJN.
Ciri
yang paling menonjol dalam akta jaminan fidusia yang memberikannya kepastian
secara otentik terhadap pihak lain, sehingga dapat digolongkan sebagai jenis partij akte/akta para pihak, adalah :[31]
1) tanggal
dari akta jaminan fidusia;
2) Tandatangan
yang ada dalam akta jaminan fidusia;
3) Identitas
dari para pihak maupun saksi;
4) Bahwa
apa yang tercantum dalam akta jaminan fidusia itu adalah sesuai dengan apa yang
diterangkan oleh para pihak/para penghadap kepada notaris untuk dicantumkan
dalam akta itu.
Mengacu
pada pendapat atau teori dari Hartkamp
yang menyatakan bahwa “perjanjian adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh
perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain
sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban
pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah (semua) pihak
bertimbal balik”.[32] Tindakan hukum yang
terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan
bentuk formal oleh pernyataan kehendak antara para pihak, di mana dalam hal ini
diawali dengan perjanjian pokok berupa perjanjian kredit yang kemudian pembebanannya
dilakukan dengan akta jaminan fidusia, dan berpedoman pada ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU JF, serta ketentuan mengenai bentuk akta Notaris, yang termuat
dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 65 UUJN, serta mengacu pula pada ketentuan
dalam Pasal 6 UUJF, hasil analisis jenis akta jaminan fidusia memperoleh suatu
kesimpulan bahwa akta jaminan fidusia adalah termasuk jenis partij akte atau akta para pihak.
3.
Pendaftaran
jaminan fidusia
Mengacu
pada ketentuan dalam Ketentuan Pasal 13 UUJF mengenai Pendaftaran Jaminan
Fidusia, permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima
Fidusia, kuasa, atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan
Fidusia. Dalam hal ini Penerima Fidusia dapat memberikan kuasa kepada notaris
untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dengan pemberian kuasa tersebut, lahirlah hubungan hukum antara kreditor selaku
Penerima Fidusia dengan notaris selaku pihak yang diberi kuasa oleh Penerima
Fidusia untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia.
Prosedur
pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam KetentuanPasal 11-18 UUJF yang diatur
lebih lanjut oleh PP no. 86/2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
dan biaya pembuatannya, dimana dalam ayat (1) UUJF menegaskan bahwa “benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftar”. Terkait dalam hal pendaftaran
tersebut permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilengkapi dengan salinan akta
notaris tentang akta jaminan fidusia sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Pasal
2 ayat (4) huruf a PP no, 86/200 tersebut.
Adapun
penjelasan atas Pasal 11 UUJF dinyatakan, sebagai berikut :
“Pendaftaran benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi
fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di
luar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas,
sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda
yang telah dibebani Jaminan Fidusia.”
Pasal
11 UUJF menentukan bahwa mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia
untuk didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran memiliki arti
yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya
perjanjian jaminan fidusia, selain itu Pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan
perwujudan dari asas publisitas dan kepastian hukum. Hak kebendaan dari jaminan
Fidusia baru lahir sejak dilakukannya pendaftaran pada Kantor Pendaftaran
Fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia.
Lahirnya suatu jaminan fidusia pada saat didaftarkan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 14 ayat (3) UUJF, menentukan bahwa lahir pada tanggal yang sama dengan
dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Tanggal pencatatan
Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dianggap sebagai saat lahirnya
Jaminan Fidusia, bukan pada saat terjadi pembebanan fidusia dengan dibuatnya
Akta Jaminan Fidusia di hadapan notaris.
Di
dalam UUJF diatur tentang (kewajiban) pendaftaran jaminan fidusia agar
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan perlu
diingat pendaftaran jaminan fidusia ini memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia
terhadap kreditor lain. Selain itu, pendaftaran jaminan fidusia menentukan pula
kelahiran hak preferensi kreditor (penerima fidusia).[33]
Berdasarkan
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012
Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
(selanjutnya disebut PMK no.130/PMK.010/2012), menentukan bahwa :
“perusahaan pembiayaan yang
melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan
jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai peraturan
undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.”
Kemudian
pada Pasal 2, menentukan bahwa :
“perusahaan pembiayaan wajib
mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan
konsumen.”
Perusahaan
pembiayaan yang melanggar, akan dikenakan sanksi yang berupa peringatan,
pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha sebagaimana tertuang dalam
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permenkeu no.130/PMK.010/2012. Peraturan ini
diundangkan sejak tanggal 7 Agustus 2012 dan berlaku setelah 2 (dua) bulan
terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan (Pasal 7 Permenkeu
no.130/PMK.010/2012) artinya bahwa Per Men ini baru akan diberlakukan pada
tanggal 7 Oktober 2012.
Maksud
pendaftaran dengan memperhitungkan asas publisitas yang biasanya dianut dalam
pelaksanaan pendaftaran adalah agar pihak ketiga mempunyai kesempatan untuk
tahu mengenai pendaftaran benda, ciri benda yang didaftar dan benda-benda
tententu terikat sebagai jaminan untuk keuntungan kreditor tertentu, untuk
suatu jumlah tertentu, dengan janji-janji tertentu. Sudah bisa diduga, bahwa
pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap pihak ketiga. Dengan
pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat pada benda
yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di
sana, dan dalam hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia dengan tidak
bisa mengharapkan adanya perlindungan berdasarkan itikad baik harus memikul
risiko kerugian, namun sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia yang
hanya terbatas di kota-kota besar saja dan hal itu membawa konsekuensi pada
biaya yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran dan checking daftar.[34]
C.
Konsepsi
Tentang Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan
1.
Pengertian
akta
Hukum
pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai alat bukti
tertulis. Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi mnenjadi dua yaitu surat
yang merupakan akta dan surat yang bukan akta. Sedangkan akta dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Membuat akta otentik
inilah pekerjaan pokok sekaligus wewenang Notaris.[35] Sebagaimana tertuang
dalam Pasal I ayat (1) UUJN.
Akta
sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.[36] Sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo akta merupakan suatu tulisan yang berarti segala sesuatu yang
memuat tanda yang dapat di baca.[37]
Karena
akta tersebut akan berfungsi sebagai alat bukti, setidaknya material yang
dipakai untuk menerangkan tulisan tersebut menurut van Esch haruslah memenuhi beberapa persyaratan diantaranya:[38]
a. Ketahanan
akan jenis material yang digunakan.
Hal ini berkakitan dengan
diantaranya kewajiban bagi Notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan
minuta akta yang dibuatnya.
b. Ketahanan
terhadap pemalsuan.
Perubahan yang dilakukan
terhadap tulisan di atas kertas dapat diketahui dengan kasat mata atau dengan
menggunakan cara yang sederhana. Ini berarti bahwa para pihak akan terjamin
apabila perbuatan hukum diantara meraka telah dilakukan dengan akta yang
menggunakan jenis kertas tertentu.
c. Orisinalitas
Untuk minuta akta, hanya ada
satu kata “aslinya”, kecuali untuk akta yang dibuat in originally dibuat beberapa rangkap yang semuanya “asli”.
d. Publisitas
Untuk hal-hal tertentu pihak
ketiga yang berkepentingan dapat dengan mudah melihat akta asli atau minta
salinan daripadanya.
e. Dapat
segera atau mudah dilihat (waarneembaarheid)
Data yang terdapat pada
kertas dapat dengan segera dilihat tanpa diperlukan tindakan lainnya untuk
dapat melihatnya.
f. Mudah
dipindahkan
Kertas dan sejenisnya dapat
dengan mudah dipindahkan.
2.
Akta
Otentik
Pasal
1868 BW menentukan bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya.
Akta
otentik sebagai akta yang dibuat oleh notaris secara teoritis adalah surat atau
akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat ini
tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari jika terjadi sengketa, sebab
surat yang tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti
surat korespondensi biasa. Dikatakan dengan resmi karena tidak dibuat di bawah
tangan. Sedangkan secara dogmatis yakni menurut Pasal 1868 BW suatu akta
otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang (welke in de wettelijke vorm is verleden)
dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai (pejabat) umum (door of ten overstaan van openbaare
ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe
bevoegd) ditempat akta tersebut dibuatnya.[39]
Akta
otentik sebagaimana dikemukakan oleh C.A. kraan di dalam disertasinya (De Authentieke Akte) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Suatu
tulisan dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu
bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan dalam tulisan dibuat dan diinyatakan
oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani atau hanya
ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
2) Suatu
tulisan sampai ada bukti sebaliknya dianggap berasal dari pejabat yang
berwenang.
3) Ketentuan
perundang-undangan yang harus dipenuhi: ketentuan tersebut mengatur tata cara
pembuatan sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal tempat
dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang
membuatnya c.q. data dimana diketahui menganai hal-hal tersebut.
4) Seorang
pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri
(on partijdig-independence) serta
tidak memihak (onpartijdig-impartial)
dalam menjalankan jabatannya. Di Indonesia sesuai dengan ketantuan Pasal 1868
KUHPerdata jo. Pasal 15 ayat (1)
UUJN.
5) Pernyataan
dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat ada hubungan hukumnya di
dalam hukum privat.[40]
3.
Akta
di bawah tangan
Menurut
Ahmadi Miru bahwa akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para
pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris,
PPAT, pajabat lain yang diberi wewenang untuk itu.[41]
Akta
di bawah tangan menurut Hikmahanto Juwana dibagi menjadi tiga macam yaitu :[42]
1. Akta
di bawah tangan di mana para pihak menandatangani kontrak itu di atas materai
(tanpa keterlibatan pejabat umum)
2. Akta
dibawah tangan yang didaftar (waarmarken)
oleh Notaris/pejabat yang berwenang
3. Akta
dibawah tangan yang dilegalisasai oleh notaris/pejabat yang berwenang.
Akta di bawah tangan dijelaskan melalui
Pasal 1869 BW yang menentukan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai yang dimaksud atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak
dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak, dan Pasal 1874 yang menentukan
bahwa sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan di anggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
atau urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara
seorang pegawai umum.
Jadi akta di bawah tangan mempunyai ciri
khas sabagai berikut:
a. Bentuknya
bebas dan tidak ditentukan oleh undang-undang
b. Dibuat
oleh para pihak tanpa melalui pejabat
c. Dapat
dibuat dimana saja.
Menurut Ahmadi Miru bahwa perbedaan
prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika
pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap
palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu
dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya, artinya jika suatu akta di bawah
tangan disangakali pihak lain, pemegang akta di bawah tangan (diuntungkan oleh
akta di bawah tangan tersebut) dibebani untuk membuktikan keaslian akta
tersebut, sedangkan kalau akta otentik disangkali, pemegang akta otentik (yang
diuntungkan dengan akta otentik tersebut) tidak perlu membuktikan keaslian akta
otentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa
akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu pembuktian akta di bawah
tangan disebut pembuktian keaslian, sedangkan pembuktian akta otentik adalah
pembuktian kepalsuan.[43]
D.
Konsepsi
Tentang Arti Penting Penandatanganan Akta di Hadapan Notaris
Penandatanganan akta merupakan bukti bahwa
akta itu mengikat bagi para pihak sehingga penandatanganan merupakan syarat
mutlak bagi mengikatnya akta tersebut. Pembumbuhan tanda tangan merupakan salah
satu rangkaian dari peresmian akta (verlijden). Pemberian tanda tangan
dilakukan pada bagian bawah akta, pada bagian kertas yang masih kosong.
Pembumbuhan tanda tangan pada akta harus dinyatakan secara tegas pada bagian
akta, pernyataan ini diberikan pada bagian akhir akta sebagaimana ditentukan
oleh 44 ayat (1) Undang Undang Jabatan Notaris. Pembumbuhan tanda tangan dalam
akta mengandung arti memberikan keterangan dan pernyataan secara tertulis,
yakni apa yang tertulis diatas tanda tangan itu.[44]
Penghadap dalam akta notaris dapat bertindak
untuk :[45]
1) Dirinya
sendiri, artinya perbuatan hukum yang dilakukan dimaksudkan untuk dirinya
sendiri, dan akta yang dibuatnya itu digunakan sebagai bukti bahwa ia telah
meminta dibuatkan akta itu untuk kepentingannya sendiri.
2) Mewakili
kepentingan orang lain dengan perantara Kuasa, artinya yang menjadi pihak (partij)
dalam akta tersebut mewakili kepentingannya melelui perantara orang lain, baik
melalui kuasa tertulis ataupun dengan kuasa lisan.
3) Mewakili
jabatan atau kedudukan, artinya apabila seseorang menyatakan, bahwa ia
bertindak di dalam akta yang bersangkutan bukan untuk dirinya sendiri, akan
tetapi untuk orang lain, misalnya seorang ayah yang menjalankan kekuasaan
sebagai orang tua terhadap anak-anaknya yang masih dibawah umur, wali untuk
mewakili anak yang berada dibawah perwaliannya, direksi dari suatu perseroan
terbatas.
Penandatanganan
akta dilakukan pula oleh saksi. Saksi adalah seorang yang memberikan kesaksian,
baik secara lisan maupun tertulis, yaitu menerangkan apa yang disaksikan
sendiri, baik merupakan perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu
keadaan ataupun suatu kejadian. Saksi yang dimaksud dalam penandatanganan akta
adalah saksi menurut Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah saksi instrumenter yang hadir dalam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta.
Apabila
penghadap menerangkan bahwa tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam akta
baik atas alasan kesehatan ataupun karena buta huruf maka atas segala sebab
yang menjadi halangan pemberian tanda tangan tersebut harus dijelaskan secara
tegas oleh notaris dalam aktanya sebagaimana tertuang dalam Pasal 38 ayat (4).
Pasal
16 ayat (1) huruf l Undang Undang Jabatan Notaris menyebutkan :
Dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban memembacakan akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.
Dalam
arti penandatanganan akta di hadapan notaris, UUJN memberikan penjelasan bahwa
arti dari kata di hadapan bahwa notaris harus hadir secara fisik dan
menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi sebagaimana tertuang dalam penjelasan
Pasal 16 ayat (1) huruf l.
Dalam kondisi tertentu bisa saja para pihak tidak dapat
hadir, dan tandatangan yang mereka bubuhkan di tempat masing-masing atau tidak
berhadapan langsung dengan notaris yang bersangkutan, maka para pihak dapat
saja menyangkali isi maupun tanda tangan mereka.
E.
Konsepsi
Akta Notaris yang Terdegradasi menjadi Akta Di Bawah Tangan
Dalam hal akta notaris kehilangan
otentisitasnya, diatur dalam ketentuan Pasal ketentuan Pasal 16 ayat (8) juncto Pasal 41 UUJN telah mengatur
tersendiri, yaitu jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l, ayat (7), 39 dan 40 UUJN,
maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan.
Untuk
menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan ditentukan
dari : [46]
1. Isi
(dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris melakukan
pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2. Jika
tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagian akta dibawah tangan, maka pasal lainnya
yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta
batal demi hukum.
Berlakunya degradasi kekuatan bukti akta
notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak tetap (inkracht). Akta yang mempunyai kekuatan
bukti di bawah tangan ini tetap sah dan mengikat kecuali adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan batalnya
akta tersebut atau tidak mengikatkan akta tersebut.[47]
Otentik tidaknya suatu akta tidak cukup jika
akta tersebut dibuat oleh pejabat, tetapi cara membuatnya juga harus memenuhi
ketentuan yang ditetapkan undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat
yang tidak mempunyai wewenang untuk itu atau tanpa ada kemampuan untuk
membuatnya atau tidak memenuhi syarat, maka akta tersebut tidak dapat dianggap
sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan
jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[48]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa akta notaris yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika disebutkan dengan tegas dalam
pasal yang bersangkutan, dan yang tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal
yang bersangkutan dalam hal ini adalah UUJN termasuk sebagai akta menjadi batal
demi hukum.
F.
Ruang
Lingkup Hukum Pembuktian Perdata
Di dalam hukum pembuktian perdata dikenal
beberapa bentuk dan jenis alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
1866 juncto Pasal 64 HIR, yang
terdiri dari :[49]
1. Bukti
tulisan,
Bukti surat adalah bukti
yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan,
atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat
sebagai berikut :
a. Surat biasa,
yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti.
Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang
termasuk surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan
korespondensi, dan lain-lain.
b. Akta otentik,
yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat
dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta
Cerai, dan lain-lain.
c. Akta
di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di
hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui
oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak
yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain misalnya saksi.
2. Bukti
dengan saksi,
Saksi
adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu
peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk
menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja
menyaksikan suatu peristiwa.
Syarat-syarat
saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut.
a. Saksi
sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
b. Yang
dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui, dan
dialami sendiri.
c. Kesaksian
harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
d. Saksi
harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
e. Saksi
tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan
perkiraan dari saksi.
f. Kesaksian
dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium
de auditu).
g. Keterangan
satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus
didukung dengan alat bukti lain.
Yang tidak dapat dijadikan saksi
adalah sebagai berikut.
a. Keluarga
sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak.
b. Suami
atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.
c. Anak-anak
yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15 (lima
belas) tahun.
d. Orang
gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
e. Keluarga
sedarah dan keluarga semenda dapat didengar keterangannya dan tidak boleh
ditolak dalam perkara-perkara mengenai kedudukan perdata antara kedua belah
pihak.
f. Anak-anak
yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar keterangannya tanpa disumpah.
Keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.
g. Saksi
yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah
sebagai berikut.
h. Saudara
laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah
satu pihak.
i. Keluarga
sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan,
serta suami atau istri salah satu pihak.
j. Orang
yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan
rahasia.
3. Persangkaan,
Persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau majelis hakim terhadap
suatu peristiwa yang terang, nyata, ke arah peristiwa yang belum terang
kenyataannya. Dengan kata lain persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari
suatu peristiwa yang sudah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti.
Persangkaan
dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut.
a. Persangkaan Undang-Undang
Persangkaan undang-undang
adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya
peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti
pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran
sebelumnya telah dibayar.
b. Persangkaan Hakim Yaitu
suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus
menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4. Pengakuan,
Pengakuan
terhadap suatu peristiwa yang didalilkan dianggap telah terbukti adanya
peristiwa yang didalilkan tersebut. Pengakuan ada dua macam sebagai berikut.
a. Pengakuan di depan sidang.
Pengakuan
di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan
membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang
merupakan pembuktian yang sempurna. Pengakuan di depan sidang tidak dapat
ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat suatu kekhilafan
mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan
tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan
persidangan.
b. Pengakuan di luar sidang.
Pengakuan
di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas
tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara
tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang
secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.
5. Sumpah.
Sumpah
adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan
oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar.
Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada
para pihak.
Sumpah
terdiri dari:
a. Sumpah
promissoir
Sumpah promissoir yaitu sumpah
yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
b. Sumpah
confirmatoir
Sumpah confirmatoir yaitu sumpah
yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar.
Sumpah confirmatoir terdiri
dari:
a. Sumpah
supletoir
Sumpah supletoir atau sumpah
pelengkap atau sumpah penambah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada
para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian. Sumpah pelengkap harus ada
bukti terlebih dahulu namun bukti belum lengkap sedangkan untuk mendapatkan
bukti lain tidak mungkin. Sumpah pelengkap dibebankan kepada para pihak oleh hakim
karena jabatannya.
b. Sumpah
decisoir
Sumpah decisoir atau sumpah
pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak
lawannya. Sumpah pemutus dimohonkan kepada majelis hakim oleh salah satu pihak
agar pihak lawan mengangkat sumpah. Sumpah pemutus dikabulkan hakim apabila
tidak ada alat bukti sama sekali. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada
pihak lain yang meminta apabila mengenai perkara timbal balik. Apabila salah
satu pihak berani mengangkat sumpah maka pihak yang mengangkat sumpah
perkaranya dimenangkan.
c. Sumpah
aestimatoir
Sumpah asstimatoir yaitu sumpah
yang dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.
Dalam beberapa alat bukti
tersebut di atas Eddy O.S. Hiariej menambahkan Ahli sebagai alat bukti dalam rana
hukum perdata. Dalam konteks Hukum Perdata Indonesia, perihal para ahli tidak
dicantumkan dalam buku keempat (4) KUHPerdata, melainkan terdapat dalam RIB dan
RDS. Dalam RIB dan RDS hanya menyatakan, bahwa : “jika menurut pendapat ketua
pengadilan negeri perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penetapan
ahli-ahli, karena jabatannya atau atas permintaan pihak-pihak, ia dapat
mengangkat ahlli-ahli tersebut”. berdasarkan Pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa ahli dibutuhkan di persidangan pengadilan untuk memberi penjelasan
mengenai suatu perkara yang sedang disidangkan. Selanjutnya dalam RIB dan RDS
antara lain dinyatakan bahwa laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan
dari perkara yang bersangkutan hanya dapat dipakai untuk memberikan oenerangan
kepada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib turut pada pendapat ahli
tersebut apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat para ahli itu.
Namun, hakim setuju, pendapat itu diambil alih oleh hakim dan dianggap sebagai
pendapatnya sendiri, alat bukti ahli dalam perkara perdata pada umumnya sama
dengan alat bukti ahli dalam perkara lain.[50]
Dibeberapa
negara seperti Belanda, telah terjadi perkembangan hukum pembuktian ke arah
sistem terbuka. Dalam hukum pembuktian tidak lagi ditentukan jenis atau bentuk
alat bukti secara enumeratif. Kebenaran tidak hanya diperoleh dari alat bukti
tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima kebenaran sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Artinya alat bukti yang sah
dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu persatu.[51]
Ditinggalkannya
sistem yang menyebut satu persatu alat bukti berdasar alasan, alat bukti yang
lama dianggap tidak komplet, karena sisitem itu tidak menyebut dan memasukkan
alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Misalnya, alat bukti elektronik (electronic
evidence), meliputi data elektronik (electonis
data), berkas elektronik (electronic
file), maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca (system computer readable form).[52]
Bahkan
pada saat sekarang dalam dunia bisnis banyak sekali dipergunakan komunikasi
dalam bnetuk surat elektronik atau electronic
mail (e-mail) yaitu sistem surat
elektronik dengan cara pengiriman pesan atau penjelasan pada sesuatu komputer
atau terminal lain, selanjutnya pesan tersebut disimpan oleh penerimanya.[53]
Tidak
saja data elektronik yang muncul belakangan ini sebagai lalat bukti, tetapi juga
bentuk yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti
foto, film, pita suara, dan DNA. Berdasarkan kenyataan perkembangan dimaksud,
layak dan beralasan meninggalkan sistem pembatasan alat bukti baru tersebut,
kemungkinan besar akan diperoleh kebenaran yang lebih jelas dan utuh. Oleh
karena itu dianggap beralasan memberi kebebasan kepada hakim untuk menerima
benrtuk dan jenis alat b uti yang diajukan para pihak sepanjang hal itu tidak
melanggar kepatutan dan ketertiban umum. Semakin banyak alat bukti yang
diajukan, bahan penilaian pembuktian, semakin luas landasan yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan yang lebih akurat.[54]
Sejalan
dengan perkembangan di atas sehubungan dengan alat pembuktian photo sebagai alat
bukti diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE,
menegaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Kemudian
Pasal 1 angka 4, menegaskan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.”
Dalam
UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut
Pasal 1866 KU HPerdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan,
bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan
menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang
sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas
yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi
elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah
menurut UU ITE.[55]
Menurut
Alvi Syahrin, berpendapat, bahwa :
Suatu
alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat,
diantaranya :[56]
1. Diperkenankan
oleh undang-undang untuk dijadikan alat bukti.
2. Reability,
yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
3. Necessity,
yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance,
yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan alat bukti yang
diajukan.
G.
Teori
Efektivitas Hukum
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana
efektifitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur, sejauh
mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu saja, jika suatu aturan
hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita
akan mengatakan bahwa aturan hukukm yang bersangkutan adalah efektif. Namun
demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi
kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat
efektifitasnya.Seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum, tergantung pada
kepentingannya. Kepentingan itu ada bermacam-macam, diantaranya yang bersifat compliance, identification, internalization,
dan masih banyak jenis kepentingan lain. Jika ketaatan sebagian besar warga
masyarakat terhadap suatu aturan umum hanya karena kepentingan yang bersifat complience, atau hanya takut sanksi,
maka derajat ketaatannya sangat rendah, karena membutuhkan pengawasan yang
terus-menerus. Berbeda kalau ketaatannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan karena
aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatannya adalah yang
tertingi.[57]
Menurut
H. C. Kelman, ketaatan hukum dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, seperti yang
telah dikemukakan Achmad Ali di atas, sebagai berikut :[58]
1. Complience, An overt acceptance induced
by expectation of rewards and an attempt to avoid possible punishment-not by
any conviction in the desirability of the enforced rule. Power of the
influencing agent is based on ‘means control’ and, as a consequence, the
infuenced person conforms only under surveillance. (Penerimaan terbuka disebabkan
oleh harapan penghargaan dan
upaya untuk menghindari kemungkinan hukuman-tidak
oleh keyakinan dalam keinginan aturan ditegakkan.
Kekuatan agen mempengaruhi
didasarkan pada 'berarti kontrol' dan, sebagai
akibatnya, orang tersebut
dipengaruhi sesuai hanya di bawah
pengawasan).
2. Identification, An acceptance of a rule
not because of its intrinsic value and appeal but because of a person’s desire
to maintain membership in a group or agent, and his conformity with the rule
will be de pendent upon salience of these relationships. (Penerimaan aturan bukan
karena nilai intrinsiknya dan
daya tarik tetapi karena keinginan
seseorang untuk mempertahankan
keanggotaan dalam kelompok atau
agen, dan kesesuaian dengan
aturan akan tergantung
pada arti-penting dari hubungan ini).
3. Internalization, The acceptance by an
individual of a rule or behavior because he finds its content intrinsically
rewarding… The content is congruent with a person’s values either because it
has been so from the start of the ‘influence’, or because his values changed
and adapted to inevitable. (Penerimaan oleh individu aturan atau perilaku
karena ia menemukan isinya
intrinsik berharga ... konten adalah kongruen
dengan nilai-nilai seseorang
baik karena telah jadi dari awal 'pengaruh', atau
karena nilai-nilai berubah
dan disesuaikan dengan tak terelakkan
).
Oleh
karena itu, menurut pendapat Achmad Ali pada umunya, faktor yang banyak
mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan
optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di
dalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam
menegakkan perundang-undangan tersebut. Yang jelas bahwa seseorang menaati
ketentuan perundang-undangan adalah karena terpenuhinya suatu kepentingannya (interest) oleh perundang-undangan
tersebut.[59]
Menurut Soerjono Soekanto bahwa tentang
pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai
sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah
pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada
hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku
baik yang bersifat positif maupun negatif”.[60]
H.
Definisi
Operasional
1. Penandatangan
yang dilakukan di hadapan notaris adalah pelaksanaan tandatangan setelah
pembacaan akta yang dilakukan di hadapan Notaris di mana notaris dalam hal ini
hadir secara fisik di hadapan para pihak dan saksi-saksi.
2. Akad kredit adalah perjanjian pokok dari
perjanijan ikutannya atau assesoir antara
bank dan nasabah yang dituangkan dalam perjanjian tertulis.
3. Perjanjian
assesoir adalah perjanjian ikutan atau assesoir
dari perjanjian pokok yang dituangkan dalam perjanjian tertulis.
4. Akta
Jaminan Fidusia Adalah akta pembebanan dari akta Perjanjian Kredit yang dibuat
dalam bentuk akta Notariil atau akta otentik.
5. Implikasi
Hukum adalah akibat hukum yang dilandasi oleh pelanggaran Notaris terkait
dengan penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para penghadap dan
saksi-saksi yang akan mengakibatkan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l.
6. Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat Akta Jaminan Fidusia.
7. Akta
otentik adalah akta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UUJN.
8. Akta
di Bawah Tangan adalah akta Notaris yang penandatanganannya tidak dilakukan di
hadapan notaris.
9.
I.
Kerangka
Pikir
-
Penandatanganan akta yang
dilakukan di Bank atau Lembaga Pembiayaan
-
pengikatan yang terlalu banyak
|
Kewajiban
Notaris dalam penandatanganan akta yang di lakukan dihadapan notaris
(Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN)
|
-
Penandatanganan akta yang
dilakukan di kantor notaris
-
Mengatur waktu pengikatan
|
Memungkinkan notaris tidak
menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi
|
Memudahkan
notaris untuk tetap menadatangani akta di hadapan para pihak dan
saksi-saksi
|
Ketentuan
telah berjalan sebagaimana mestinya
|
Pengikatan
jaminan fidusia di beberapa bank dan Lembaga Pembiayaan pada hari yang
sama
|
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di kota Makassar dengan pertimbangan bahwa dengan pesatnya perkembangan
ekonomi yang juga mendongkrak perkembangan dalam bidang perbankan di mana kebutuhan
masyarakat dalam hal permodalan dan sebagainya membutuhkan bank sebagai
peminjam modal, maka banyak timbul berbagai perjanjian kredit di perbankan yang
diikuti dengan perjanijan pembebanan, yaitu dalam hal ini khusus Akta Jaminan
Fidusia yang dibuat oleh notaris di mana dalam pembuatan akta tersebut terjadi
dibeberapa bank dan Lembaga Pembiayaan pada hari yang sama dan pada waktu yang
sama, sehingga memungkinkan seorang notaris tidak menandatangani akta tersebut
di hadapan para pihak dan saksi-saksi.
B. Sifat dan Tipe Penelitian
Tipe
penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, yaitu
penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan
perundang-undangan (in abstraco)
serta penerapannya pada peristiwa hukum (in
concreto).
Sifat
penelitian hukumnya adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek
pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas. Bersifat
deskriptif, bahwa dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu
gambaran yang bersifat manyeluruh dan sistematis. Dikatakan analitis, karena
berdasarkan gambaran-gambaran dan fakta-fakta yang diperoleh melalui studi
dokumen maka selanjutnya dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis
dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Data primer, yaitu data original yang
sumbernya langsung ditemukan dalam Perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
2.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
kajian atau telaah dari berbagai buku-buku, dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
D. Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi
dalam penelitian ini adalah berjumlah 10 orang Notaris yang diketahui memiliki beberapa
Akta Jaminan Fidusia berdasarkan keterangan dari Kepala Seksi Kantor
Pendaftaran Fidusia.
2.
Sampel
Sampel
dalam penelitian ini adalah berjumlah 4 orang Notaris yang ditentukan secara purposive sampling yaitu penelitian
ditujukan kepada Notaris di kota makassar yang diketahui oleh peneliti telah
mengeluarkan beberapa Akta Jaminan Fidusia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dapat dilakukan sebagai berikut:
1.
Studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder
melalui penelitian kepustakaan.
2.
Wawancara yaitu teknik pengumpulan data
dengan cara melakukan wawancara/interview
secara langsung melalui kuesioner kepada responden, yaitu Notaris, MPD,
Sekretaris Pendaftaran Fidusia dan Bank.
F. Analisis Data
Berdasarkan
sifat penelitian deskriptif analitis, maka data yang diperoleh dari penelitian
lapangan diuji kebenarannya kemudian dihubungkan dan dianalisa secara
kualitatif dengan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, sehingga
dapat membahas permasalahan secara menyeluruh, sistematis dan objektif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Implikasi
Hukum Penandatanganan Akta Pembebanan Yang Tidak Di Hadapan Notaris
Dalam
UUJN Pasal 16 ayat (1) huruf l yang mengatur tentang kewajiban Notaris untuk
membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua)
orang saksi dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Ketentuan ini dipertegas kembali
dalam Pasal 44 UUJN yang menyatakan bahwa segera setelah akta dibacakan, akta
tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali
apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan
menyebutkan alasannya. Ketentuan pembacaan dan penandatanganan tersebut adalah
satu kesatuan dari peresmian akta.
Menurut
notaris Early bahwa dalam prakrik Lembaga Pembiayaan biasanya sudah membuatkan
Akta Jaminan Fidusia yang dibuat secara di bawah tangan kemudian berdasarkan
akta di dawah tangan tersebut notaris membuatkan dalam bentuk akta otentik.
Dalam
praktik penandatanganan akta dapat saja tidak dilakukan di hadapan para pihak
dan saksi-saksi ketika pembuatan akta pembebanan tersebut terjadi secara
bersamaan pada hari yang sama. Hal ini di tegaskan oleh notaris Early bahwa dalam
praktik notaris tidak mungkin berada dalam 2 (dua) tempat yang berbeda dalam
waktu yang bersamaan, maka penandatanganannya tidak dilakukan di hadapan para
pihak. Terkadang ada bank yang menginginkan hal tersebut harus ditandatangani
di hadapan notarisnya, maka notaris membuktikan hal tersebut dengan menggunakan
foto, hal ini berdasarkan plafon yang tinggi.
nilai plafon tersebut, biasanya lebih tinggi atau lebih rendah dari
nilai 100 Miliar, maka yang bertandatangan pimpinan cabang, legal bank dan yang
bertanda tangan tersebut dituangkan ke dalam akta, hal ini tentu saja untuk
lebih menjaga dari segi keamanan dalam hal pembuktian dari akta tersebut.
Menurut
notaris Syahrir Made Ali bahwa kondisi tersebut menyulitkan seorang notaris
untuk tetap hadir di hadapan para pihak, namun sedapat mungkin penanatanganan
tersebut harus dilakukan di hadapan para pihak dengan cara mengkondisikan waktu
(mengatur schedule), hal tersbeut
juga kadang terjadi dikarenakan kesibukan dari para pihak, maka para pihak
tidak dapat hadir dalam penandatanganan akta.
Relevan
dari pernyataan di atas notaris Early juga menegaskan bahwa dengan kondisi
seperti itu dapat saja terjadi penandatanganan akta yang tidak dilakukan di
hadapan para pihak, terkadang juga dikarenakan kesibukan dari pihak bank dalam
hal ini yang bertanda tangan hanya 1 pejabat bank yang menangani semua
pengikatan yang ada di makassar yaitu pihak Legal
bank. Dari hal tersebut terkadang penandatangan akta tidak di hadapan para
pihak. Penandatanganan tersebut tidak hanya dilakukan di bank, namun juga
terkadang di tempat debitur dalam hal ini notaris yang datang ke tempat debitur
tersebut.
Menurut
notaris Syahrir Made Ali bahwa hal yang sama juga biasa terjadi dalam dunia
praktik kenotariatan dikarenakan pimpinan cabang tidak memberikan delegasi
secara tertulis kepada pihak legal bank untuk bertandatangan di hadapan
notaris. Pada umumnya bank negeri belum memberikan pendelegasian tersebut
khusunya bank swasta sudah hampir keseluruhan telah melakukan pendelegasian
tersebut.
Hal
tersebut di atas menunjukkan in-konsistensi pihak bank dalam mematuhi hukum
sementara pendelegasian (Sharing is
delegation) pimpinan cabang ke pihak Legal
wajib dilakukan karena pihak yang bertandatangan dan merupakan pihak Kreditur
dalam akta adalah Pimpinan Cabang bukan Legal, dengan adanya pendelegasian
tersebut pihak Legal bank akan berwenang dalam hal pembuatan akta sampai pada
proses peresmiannya dan tentunya pendelegasian tersebut juga disebutkan dalam
komparisi akta bahwa benar pihak legal berwenang dalam menjalankan proses
pembuatan sampai pada peresmian akta, sebaliknya bahwa jika pihak Legal dalam proses pembuatan akta
tersebut tanpa pendelegasian dari Pimpinan Cabang, maka yang berhadapan di
hadapan notaris bukan pihak yang bertandatangan dalam akta, dengan demikian
penandatangana akta tersebut tidak
dilakukan di hadapan para pihak.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT),
yang berwenang untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan
adalah Direksi. Direksi dalam hal ini adalah Pimpinan Cabang bank dan pihak Legal Officer dalam hal ini adalah Legal Drafting adalah karyawan Bank yang
bertugas membuat perjanjian kredit. Kemudian ketentuan Pasal 103
UUPT
menentukan bahwa Direksi dapat memberi
kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada
orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan
dalam surat kuasa. Yang dimaksud kuasa di sini adalah kuasa
khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa (Penjelasan Pasal 103 UUPT).
Dasar
hukum yang mengatur mengenai surat kuasa ini dapat kita temui dalam KUHPerdata
dan harus diperhatikan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan
tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya (Pasal 1797 KUHPerdata).
Dengan
demikian telah terjadi penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan
para pihak dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu :
-
terjadi secara bersamaan di tempat yang
berbeda.
-
Kesibukan dari para pihak.
Menurut
penulis agar terhindar dari masalah penandatanganan akta yang tidak dilakukan
di hadapan para pihak dan saksi-saksi, maka yang menjadi solusi dari hal
tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Penandatanganan
akta tersebut harus dilakukan di kantor notaris.
Dengan
penandatanganan akta di kantor notaris akan terhindar dari penandatanganan akta yang tidak
dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi di mana notaris secara kolektif
bertandatangan di hadapan para pihak dan saksi-saksi terkecuali pada tahap
pembacaan akta.
2. Notaris
dalam hal ini memberikan delegasi secara tertulis kepada karyawannya untuk
melaksanakan proses pembuatan akta begitu juga dengan pendelegasian pihak
perbankan dan bank dalam hal ini juga menambah jumlah karyawan di bidang legal drafting.
Dengan
pendelegasian kepada karyawan notaris dan Legal
Drafing tersebut karyawan notaris dan
Legal Drafting berwenang dalam hal
melakukan proses pembuatan akta, begitu juga dengan penambahan jumlah Legal Drafting tersebut agar pihak bank
dapat hadir dalam setiap proses pembuatan akta tersebut.
Pendelegasian
kewenangan antara notaris dengan karyawannya dalam hal wewenang untuk mengikuti
proses pembuatan akta. Hal ini tentu saja harus diatur dalam UUJN agar
pendelegasian tersebut memiliki landasan hukum yang telah diamanahkan oleh UUJN.
3. Penambahan
kewenangan notaris pengganti
Ketentuan
Notaris pengganti dalam UUJN hanya memberikan kewenangan kepada notaris
pengganti ketika notaris dalam keadaan cuti. Tambahan tersebut adalah notaris
pengganti tidak hanya berfungsi sebagai notaris yang menggantikan notaris yang
dalam keadaan cuti saja melainkan juga dalam hal melakukan proses pembuatan
akta ketika notaris dalam keadaan berada dalam pengikatan di mana notaris tidak
dapat hadir pengikatan yang lain tersebut.
Penandatanganan
akta merupakan bukti bahwa akta itu mengikat bagi para pihak sehingga
penandatanganan merupakan syarat mutlak bagi mengikatnya akta tersebut. Pembumbuhan
tanda tangan merupakan salah satu rangkaian dari peresmian akta (verlijden).
Pemberian tanda tangan dilakukan pada bagian bawah akta, pada bagian kertas
yang masih kosong. Pembumbuhan tanda tangan pada akta harus dinyatakan secara
tegas pada bagian akta, pernyataan ini diberikan pada bagian akhir akta
sebagaimana tertuang dalam 44 ayat (1) UUJN. Pembumbuhan tanda tangan dalam
akta mengandung arti memberikan keterangan dan pernyataan secara tertulis,
yakni apa yang tertulis diatas tanda tangan itu.[61] Sedangkan menurut notaris
Muin bahwa peresmian akta adalah pada saat akta tersebut telah diberi nomor
akta, karena meskipun akta tersebut telah ditandatangani namun belum di berikan
nomor, maka akta tersebut belum dapat difungsikan sampai pada saat akta
tersebut ditandatangani dan diberi nomor akta.
Berdasarkan
konteks di atas menurut penulis bahwa yang menjadi manfaat dari penandatanganan
akta adalah:
1. pada
saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (varlijden) akta, notaris
masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang
sebelumnya tidak terlihat.
2. Para
penghadap diberi kesempatan untuk bertanya apa yang kurang jelas bagi mereka.
3. Untuk
memberikan kesempatan kepada notaris dan para penghadap pada detik-detik
terakhir, sebelum akta itu selesai diresmikan dengan tandatangan mereka, para
saksi-saksi dan notaris, mengadakan pemikiran ulang, bertanya dan jika perlu
mengubah bunyi akta.
Berangkat dari
manfaat tandatangan tersebut di atas, maka yang menjadi arti penting dari
penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan notaris, adalah agar
notaris akan dengan mudah mengenal dan memastikan para pihak yang berhadapan
langsung tersebut adalah juga pihak yang bertandatangan dalam akta, sehingga
para pihak tidak akan memungkiri tandatangan yang mereka bubuhkan ke dalam
akta.
Mengenal para penghadap juga diatur dalam
Ketentuan Pasal 39 ayat (2) bahwa penghadap harus dikenal oleh notaris atau
diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur 18
(delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum
atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. Dengan demikian
penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan notaris sangat penting mengingat
pemungkiran tandatangan dari para pihak.
Menurut Herlien Budiono suatu Akta Notaris merupakan
suatu keterangan notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang menjamin.[62]
1. Kehadiran (para) penghadap
2. Pada tempat tertentu
3. Pada tanggal tertentu
4. Benar (para) penghadap memberikan keterangan sebagaimana
tercantum dalam akta, atau benar terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam
akta.
5. Benar ditandatangani oleh (para) penghadap untuk akta
pihak (partij acte)
Pentingnya suatu penandatangan akta di
hadapan notaris sangat berpengaruh terhadap adanya suatu pemungkiran
tandatangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, untuk itu UUJN memberikan
konsekuensi terhadap penandatangan akta yang tidak di hadapan notaris, hal ini
diatur dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN bahwa akta tersebut terdegradasi menjadi
akta di bawah tangan atau akta notariil akan kehilangan otentisitasnya.
Kemudian arti dari kata “di hadapan” tersebut dalam penjelasan Pasal 16 ayat
(8) UUJN mendefinisikan kata “di hadapan” sebagai bentuk keharusan seorang
notaris secara langsung atau secara fisik hadir dalam penandatanganan akta
tersebut.
Menurut Habib Adjie bahwa untuk menentukan
akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan ditentukan dari: [63]
1. Isi
(dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2. Jika
tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagian akta dibawah tangan, maka pasal lainnya
yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta
batal demi hukum.
Berangkat dari pendapat tersebut di atas
bahwa Ketentuan Pasal 16 ayat (8) UUJN termasuk dalam kategori akta yang
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan.
Berlakunya degradasi kekuatan bukti akta
notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak tetap (inkracht). Akta yang mempunyai kekuatan
bukti di bawah tangan ini tetap sah dan mengikat kecuali adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan batalnya
akta tersebut atau tidak mengikatkan akta tersebut.[64]
Berbicara mengenai putusan Hakim yang telah inkracht berarti telah terjadi sengketa
yang diawali dengan gugatan para pihak. Secara prosedural terkait dalam hal
pembuktian di mana pihak penggugat akan menghadapi kesulitan untuk membuktikan
hal tersebut, namun bukan berarti bahwa pembuktian terkait perkara tersebut
sama sekali tidak dapat dibuktikan.
Dalam hukum pembuktian perdata harus memenuhi
syarat pembuktian, berdasarkan Ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata juncto Pasal 64 HIR, alat bukti terdiri
dari 4 (empat) :
1. Bukti
tulisan/bukti dengan surat,
2. Saksi,
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan,
dan
5. Sumpah,
Menurut
Alvi Syahrin, bahwa suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan
perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya :[65]
1. Diperkenankan
oleh undang-undang untuk dijadikan alat bukti.
2. Reability,
yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
3. Necessity,
yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance,
yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan alat bukti yang
diajukan.
Untuk
lebih menguatkan pembuktian pihak penggugat dapat menggunakan photo dan rekaman
video sebagai alat bukti. Alat bukti foto dan semacamnya belum diatur dalam
KUHPerdata, namun telah diatur dalam UU ITE yang menegaskan bahwa berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UU ITE, menegaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Kemudian
Pasal 1 angka 4, menegaskan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.”
Sesuai
dengan perkembangan hukum pembuktian, foto dan peta sudah dapat diterima
sebagai alat bukti, meskipun tidak dokategorikan sebagai alat bukti tulisan.
Terutama di negara yang sudah menghapuskan penyebutan alat bukti secara
emuneratif satu per satu, foto dan peta dapat diterima sebagai alat bukti
sepanjang mempunyai koneksitas yang erat dengan perkara yang diselenggarakan.[66]
Relevan
dengan pendapat tersebut di atas, menurut Alan M. Gathan bahwa ditinggalkannya
sistem yang menyebut satu persatu alat bukti berdasar alasan, alat bukti yang
lama dianggap tidak komplet, karena sisitem itu tidak menyebut dan memasukkan
alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Misalnya, alat bukti elektronik (electronic
evidence), meliputi data elektronik (electonis
data), berkas elektronik (electronic
file), maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca (system computer readable form).[67]
Mengenai
perkara penandatangan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris terkait
dengan akta pembebanan yaitu Akta Jaminan Fidusia bahwa Debitor (pemberi
fidusia) lebih mungkin mengingkari tandatangannya karena sesungguhnya akta
jaminan fidusia adalah untuk perlindungan kreditur jika debitur wanprestasi.
Maka, terhadap pihak debitor yang tidak memberikan kuasa kepada bank untuk
melakukan segala perbuatan hukum mengenai akta pembuatan akta tersebut dapat
saja terjadi sengketa terkait terhadap hal tersebut.
Dengan
lahirnya UU tersebut di atas maka foto dan semacamnya dapat dijadikan alat
bukti. Dengan demikian apabila terjadi hal terkait dalam penandatanganan akta
yang tidak dilakukan di hadapan notaris para pihak khususnya pihak debitor
dapat melakukan gugatan dengan alat-alat bukti seperti hal-hal yang telah
diuraikan di atas.
Mengenai
pelanggaran tersebut bahwa peran pihak Pengawas Notaris sangat dibutuhkan guna
menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang akan dilakukan notaris. Dalam hal ini
bahwa Pengawas Notaris dalam memeriksa akta-akta notaris diharuskan lebih
teliti lagi, jika terdapat minuta akta yang belum ditandatangani atau baru akan
ditandatangani pada saat pemeriksaan berarti bahwa akta tersrebut tidak
ditandatangani di hadapan para pihak dan saksi-saksi.
Menurut
Pak Yani selaku Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya disebut MD) bahwa hal
tersbeut pernah terjadi pada saat pemeriksaan tepatnya pada tahun 2005 di mana
pada saat itu pemeriksaan masih dalam tahap pembinaan oleh karena Majleis
Pengawas Notaris masih baru terbentuk yang diamanatkan oleh UUJN. MPD menemukan
beberapa minuta akta yang belum atau baru akan ditandatangani pada saat itu. Oleh
karena MPN tersebut masih baru terbentuk maka, sanksi yang diberikan oleh MPD
belum ada namun, MPD memberikan teguran secara lisan dan beberapa minuta akta
tersebut segera ditandatangani sebgaimana mestinya.
Menurut
Pak Syahrir Made Ali selaku MPD bahwa Pernah ada notaris maupun saksi yang
belum menandatangani akta jaminan fidusia pada saat pemeriksaan. Pada saat
pemeriksaan tersebut notaris langsung melengkapi kekurangan dari pada akta
tersebut dalam hal ini tandatangan. Tindakan dari MPD mengenai pelanggaran
notaris tersebut bahwa MPD memberikan teguran lisan dan jika hal tersebut masih
dilanggar, maka akan ditindak lanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Dari
pernyataan tersebut di atas bahwa pihak MPD telah menjalankan tugasnya sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku dan dari pernyataan MPD tersebut bahwa telah
menegaskan kembali dari pernyataan notaris yang telah dipaparkan sebelumnya.
Menurut
Habib Adjie bahwa peranan masyarakat juga tidak kalah pentingya dari Majelis
Pengawas Notaris untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan tindakan notaris
yang dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku kepada Majelis Pengawas Notaris setempat, adanya laporan seperti ini
dapat mengeliminasi tindakan notaris yang tidak sesuai dengan aturan hukum
pelaksanaan tugas jabatan notaris.[68]
Berangkat
dari pendapat Habib Adjie tersebut di atas bahwa sepanjang para pihak tidak
mengklaim, maka tidak akan ada masalah
hukum terkait dengan akta tersebut dan akta-nya pun masih mempunyai kekuatan
pembuktian mutlak dan sempurna, namun dalam hal untuk menertibkan daripada
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut bahwa tidak hanya
para pihak saja yang dapat mengklaim namun masyarakat pada umumnya dan
khususnya penulis sebagai akademisi tentunya dapat melaporkan pelanggaran
tersebut dengan cara melaporkan kepada pihak majelis pengawas notaris kemudian
pihak majelis pengawas notaris yang akan melanjutkan pemeriksaan sebagaimana
mestinya.
Menurut
Pak Yani (MPD) bahwa Majelis pengawas hanya memeriksa akta saja tidak mengawasi
sampai pada proses praktek di lapangan, menerima laporan dari masyarakat yang
tentunya masyarakar tersebut adalah para pihak, kami hanya menunggu
laporan-laporan yang terkait tersebut karena berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang sebelumnya sudah dijelaskan maka mengenai upaya
untuk meminimalisir hal tersebut kami kembalikan kepada notaris-notaris secara
keseluruhan untuk tetap konsisen terhadap ketntuan yang berlaku.
Dengan demikian notaris yang tidak mematuhi
atau tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf l UUJN, dalam hal ini adalah Notaris yang tidak menandatangani akta
di hadapan para pihak dan saksi-saksi, maka akan terimplikasi timbulnya akibat hukum , yaitu sebagai berikut
:
1. Akibat hukum terhadap akta
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
akta tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan atau kehilangan
otentisitasnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN.
2. Akibat
hukum terhadap para pihak
Akibat hukum
terhadap para pihak terlebih kepada pihak kreditur di mana akta tersebut tidak
dapat didaftar karena telah terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Oleh
karena pendaftaran AJF harus disertai dengan salinan Akta Notariil sebaimana
tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a PP 86/2000 Tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Biaya Pembuatan AJF dimana dalam hal pendaftaran tersebut
adalah wajib dilakukan sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Pasal 11 ayat (1)
UUJF.
Dalam
UUJF tidak menentukan kapan waktu jaminan fidusia didaftar hanya menentukan
kewajiban pendaftaran. Menurut penulis penentuan waktu pendaftaran kiranya
adalah patut dan logis setelah penandatanganan dan setelah diberikannya nomor
akta karena penandatanganan dan pemberian nomor adalah akhir pada proses
pembuatan akta yang diresmikan oleh tandatangan tersebut. pendaftaran tersebut
dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia ditempat kedudukan pihak pemberi
fidusia. Pembebanan jaminan fidusia yang didahului dengan janji untuk
memberikan jaminan fidusia sebagai pelunasan atas hutang tertentu yang
dituangkan dalam akta jaminan fidusia.
Sebenarnya
tidak ada ketentuan didalam UUJF yang menentukan, bahwa fidusia yang tidak
didaftarkan adalah tidak sah. Hanya saja dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) UUJF
bahwa akta jaminan fidusia baru akan lahir ketika akta tersebut didaftarkan,
saat berlakunya setelah dicatatnya tanggal pendaftaran dalam buku daftar
fidusia dan untuk memberlakukan ketentuan yang ada didalam Pasal 11 ayat (1)
UUJF, maka haruslah dipenuhi syarat bahwa Akta Jaminan Fidusia tersebut
didaftarkan. Sedangkan fidusia yang tidak didaftarkan, tidak bisa menikmati
keuntungan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (3) UU Jaminan
Jaminan Fidusia.
Pasal
37 tersebut menyatakan apabila dalam jangka waktu enam puluh (60) hari
terhitung sejak berdirinya Kantor Pendaftaran Fidusia, Jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik didalam maupun di luar kepailitan dan atau
likuidasi. Untuk menjamin kepastian
hukum bagi kreditor, maka dibuatlah akta yang dibuat oleh notaris dan
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Walaupun
pendaftaran jaminan fidusia sedemikian penting, dalam praktik perkreditan dilingkungan
bank masih ada perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Demikian
pula, terjadi pada perjanjian jaminan fidusia di lingkungan lembaga pembiayaan
bisnis. Akibat hukum dari perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan
adalah tidak melahirkan perjanjian kebendaan dari jaminan fidusia tersebut,
sehingga karakter kebendaan seperti droit
de suit dan hak preferensi tidak melekat pada kreditur pemberi jaminan
fidusia.[69]
Hal
tersebut di atas juga ditegaskan oleh notaris Syahrir Made Ali bahwa terkadang
pendaftaran tersebut didaftar oleh bank atau lembaga pembiayaan di mana
pendaftarannya dilakukan pada saat ketika debitor wanprestasi.
Ketidakwajiban
pendafataran tersebut sangat dirasakan dalam praktik sebagai kekurangan dan
kelemahan bagi pranata hukum Jaminan Fidusia. sebab di samping menimbulkan
ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut
menyebabkan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur publisitas, sehingga susah
dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam pratiknya. [70]
Kewajiban
pendaftaran tersebut sudah terasa jelas dan tegas ditandai dengan lahirnya PMK
No.130/PMK.010/2012 yang telah berlaku pada tanggal 7 Oktober di mana dalam
Ketentuan Pasal 2 bahwa perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan
fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal perjanjian akta jaminan fidusia.
Keberlakuan
PerMenKeu tersebut telah mengakomodir apa yang menjadi tujuan dari pendaftaran
tersebut, yaitu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima
fidusia, pemberi fidusia pihak ketiga yang berkepentingan dalam hal ini adalah
hak preferensi serta terpenuhinya asas publisitas.
Berdasarkan
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) PMK No. 130/PMK.010/2012, menentukan bahwa :
“perusahaan
pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan
pembebanan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai
peraturan undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.”
Kemudian
Pasal 2, menentukan bahwa :
“perusahaan
pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia
paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian
pembiayaan konsumen.” Perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan
jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai Undang-Undang
yang mengatur mengenai jaminan fidusia.
Sanksi
kepada perusahaan pembiayaan yang melanggar, maka dikenakan sanksi yang berupa
peringatan, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha sebagaimana
tertuang dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (1) PMK no.130/PMK.010/2012.
Pertimbangan
penerbitan peraturan itu antara lain untuk memberikan kepastian hukum bagi
perusahaan pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan hak milik atas
kendaraan bermotor dari konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan
pembiayaan.
Kewajiban
pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi perusahaan pembiayaan
yang melakukan pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip
syariah dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya
berasal dari pembiayaan penerusan (channeling)
atau pembiayaan bersama (joint financing)
sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (2) PMK No. 130/PMK.010/2012.
Perusahaan
pembiayaan yang telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan
bermotor dengan pembebanan fidusia sebelum berlakunya PMK Nomor
130/PMK.010/2012, dapat melakukan pendaftaran jaminan fidusia sesuai
kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara perusahaan pembiayaan
dengan konsumen (Pasal 6 PerMenKeu no. 130/PMK.010/2012.
Berdasarkan
PMK tersebut bahwa khusus untuk objek barang bergerak seperti kendaraan
bermotor dan sejenisnya, AJF wajib dibuat dengan akta notariil sebagaimana
tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, bahwa “pembebanan benda
dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta jaminan fidusia”. Sehingga AJF yang dibuat di bawah tangan akan
mengakibatkan jaminan fidusia ini tidak dapat didaftarkan.
Terdapat
kelemahan dalam PMK tersebut, diantaranya sebagai berikut :
1.
PMK tersebut hanya menentukan kewajiban pendaftaran
terhadap kendaraan bermotor dan sejenisnya, artinya bahwa PMK tersebut tidak
mengatur mengenai objek barang tidak berwujud dan barang tidak bergerak dalam
hal ini barang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
seperti, pabrik dan rumah susun di atas hak pakai tanah negara (Pasal 12 ayat 2
UURS No. 16/1985 Tentang Rumah Susun).
2.
PMK tersebut ditujukan hanya kepada Lembaga
Pembiayaan, artinya bahwa PMK tersebut tidak berlaku bagi bank.
Berdasarkan
konteks di atas, terhadap pengaturan mana yang belum diatur, maka tentu saja pengaturannya
kembali pada UUJF di mana dalam UUJF masih banyak kelemahan-kelemahan termasuk mengenai
pendaftaran. Dengan demikian PMK tersebut masih belum dapat menertibkan
persoalan pendaftaran jaminan fidusia pada umumnya sehingga praktik yang tidak
sehat selama ini masih mungkin terjadi pada bank-bank.
B.
EFEKTIFITAS
PENANDATANGANAN AKTA YANG DILAKUKAN DI HADAPAN NOTARIS
Menurut
Utrecht Hukum adalah himpunan
peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.[71]
Menurut
Hans Kelsen Hukum adalah sebuah
ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual antar manusia, yaitu sebuah
ketentuan tentang serangkaian peraturan yang mengatur perilaku tertentu manusia
dan hal ini berarti sebuah sistem norma. Jadi hukum itu sendiri adalah
ketentuan.[72]
Berangkat
dari pengertian hukum di atas, maka ketaatan terhadap hukum adalah wajib
ditaati untuk setiap orang dalam hal ini bagaimana Ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf l UUJN bekerja di lapangan (ius
operatum). Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l adalah merupakan kewajiban
dari notaris, oleh karena itu Ketentuan Pasal tersebut ditujukan kepada
notaris. Dengan demikian ketaatan yang dimaksud dalam hal ini adalah ketaatan
notaris terhadap kewajibannya menandatangani akta di hadapan para pihak dan
saksi-saksi.
Ketika
inigin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus
dapat mengukur, sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu
saja, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi
sasaran ketaatannya, maka aturan hukum tersbut adalah efektif. Namun, demikian
sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi masih dapat
mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya, hukum yang dimkasud adalah Ketentuan
Pasal 16 ayat (1) UUJN.
Menurut
Soerjono Soekanto bahwa salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun
sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.
Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau
kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak
atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.[73]
Secara objektif, kita hanya dapat
menegaskan bahwa perbuatan orang-orang sesuai atau tidak sesuai dengan
norma-norma hukum. Dengan demikian, satu-satunya konotasi yang dilekatkan pada
“Efektifitas” hukum dalam tesis ini adalah perbuatan nyata notaris sesuai
dengan norma-norma hukum dalam hal ini adalah implementasi Ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf l UUJN.
Berdasarkan
hasil wawancara dari beberapa notaris mengenai implementasi Ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf l, bahwa menurut notaris……….
Menurut
notaris Amiruddin Ali bahwa penandatanganan akta tersebut dilakukan
di bank dan tetap menghadirkan saksi. Secara praktik notaris Amiruddin Ali
belum pernah melakukan penandatangan akta yang tidak dilakukan di hadapan para
pihak dan saksi-saksi, artinya bahwa notaris Amiruddin masih konsisten terhadap
Ketentuan Pasal tersbut, namun terkadang timbul masalah yang dikarenakan
kesibukan dari pihak bank sehingga mengakibatkan penandatanganan akta yang
tidak sesuai dengan tanggal akta terlebih penandatanganannya tidak dilakukan di
hadapan pihak bank.
Dari
pernyataan tersebut di atas bahwa penandatanganan yang tidak dilakukan di
hadapan notaris tidak hanya dikarenakan oleh kelalaian notaris, namun juga
terjadi karena kelalaian dari pihak bank itu sendiri.
Mengenai
keterangan notaris tersebut di atas tidak sejalan dengan keterangan yang
diberikan kepada pegawai/karyawan notaris di mana ketarangannya bahwa jika
terjadi pengikatan dari beberapa bank dalam waktu yang bersamaan terkadang yang
menghadap bukan notaris dan saksi melainkan hanya seorang staf. Keterangan
pegawai/karyawan tersebut telah memberikan fakta yang sebenar-benarnya karena
menurut penulis keterangan yang diberikan notaris adalah tidak sesuai fakta
oleh karena seorang notaris ingin meindungi diri dari sebuah kesalahan yang
telah dilakukan yang berakibat rusaknya nama baik dari notaris itu sendiri.
Berdasarkan
apa yang telah dipaparkan di atas bahwa aturan tersebut telah dinyatakan
efektif melalui keterangan dari beberapa notaris yang telah mewakili dari
sebagian besar populasi yang ada, bahwa notaris masih menaati Ketentuan Pasal
16 ayat (1) huruf l di mana notaris
masih konsisten terhadap penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan-nya, Namun tetap dapat dipertanyakan lebih jauh mengenai derajat
efektifitasnya.
Mengenai
derajat efektifitas suatu aturan hukum dapat dilihat pada hubungan teori
ketaatan hukum dari H.C Kelman yaitu
Compliance (taat karena sanksi), Identification
(taat karena menjaga hubungan baik), Internalization
(taat karena nila intrinsik yang dianut) sebagai
berikut : [74]
1.
Ketaatan yang
bersifat Compliance, yaitu jika
seseorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut sanksi. Kelemahan
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. (taat karena sanksi),
2.
Ketaatan
yang bersifat Identification, yaitu
jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan
pihak lain menjadi rusak (taat karena
menjaga hubungan baik), dan
3.
Ketaatan
yang bersifat Internalization yaitu,
jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan
itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. (taat karena nila intrinsik
yang dianut).
Relevan
dari pendapat di atas bahwa menurut Achmad Ali seseorang menaati atau tidak
suatu aturan hukum, tergantung pada kepentingannya. Kepentingan itu ada
bermacam-macam, diantaranya yang bersifat compliance,
identification, internalization, dan masih banyak jenis kepentingan lain. Jika
ketaatan sebagian besar warga masyarakat terhadap suatu aturan umum hanya
karena kepentingan yang bersifat complience,
atau hanya takut sanksi, maka derajat ketaatannya sangat rendah, karena
membutuhkan penngawasan yang terus-menerus. Berbeda kalau ketaatannya
berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization,
yaitu ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat
ketaatannya adalah yang tertingi.[75]
Ketaatan
yang dikarenakan takut sanksi (compliance)
Achmad Ali dan H.C Kelman menggolongkan dalam derajat ketaatan yang sangat
minim oleh karena harus dengan pengawasan yang secara terus menerus
dibandingkan dengan nilai kesadaran hukum yang dimiliki karena hal tersebut
tidak memerlukan pengawasan secara terus menerus.
Menurut
notaris Farida ketaatan tersebut dilandasi dengan karena hal tersebut adalah
Undang-Undang sehingga harus ditaati sesuai dengan prinsip kehati-hatian
sehingga aturan tersebut sedapat mungkin ditaati.
Menurut
notaris Endang ketaatan tersebut dilandasi dengan kesadaran dalam hal untuk
menaati Undang-undang secara psikologis menurutnya membuat merasa tenang apa
yang telah dilakukan itu adalah benar.
Berdasarkan
pernyataan notaris tersebut di atas, maka konsistensi ketaatan notaris terhadap
peraturan perundang-undangan pada umumnya, khusunya pada Ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf l tergolong ketaatan yang dilandasi dengan kepentingan kesadaran
hukum atau sesuai nilai intrinsik (intrinsic)
yang dimiliki.
Berkaitan
dengan persoalan efektifitas hukum menurut penulis bahwa sanksi dalam hal ini
sangat penting terkait dengan ketaatan hukum, dengan sanksi yang tegas dapat
memberikan efek jera terhadap para pelanggar hukum. oleh karena itu sanksi
dapat memacu suatu efektivitas daripada hukum itu sendiri. Sanksi merupakan
aktual dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau
sebagai sebuah harapan. Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif
terhadap lingkungan sosialnya. Sanksi adalah penilaian pribadi seseorang yang
ada kaitannya dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan
pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati.
Sanksi-sanksi
merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum. Keadaan yang demikian
sering dikatakan, bahwa di ekor terdapat racun atau in cauda venenum. Adanya sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan agar
Notaris dapat bertindak benar sehingga produk Notaris berupa akta otentik yang
dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang
membutuhkannya.[76]
Menurut
Hans Kelsen, konsep kewajiban hukum
mengandung pengertian sebagai suatu “keharusan”. Pernyataan bahwa seseorang
diwajibkan secara hukum untuk melakukan tindakan tertentu berarti bahwa suatu
organ “harus” menerapkan suatu sanksi kepadanya bila ia melakukan perbuatan
yang bertentangan. Kewajiban hukum adalah perbuatan yang bila dilaksanakan akan
terhindar dari delik, yakni lawan dari perbuatan yang membentuk kondisi bagi
dilaksanakannya sanksi.[77]
Dari pendapat Hens Kelsen tersebut di atas, bahwa jika dikaitkan dengan kewajiban
seorang notaris dan sanksi yang telah diberikan oleh UUJN terhadap pelanggaran
dari kewajiban tersebut, menurut penulis sanksi yang telah diatur dalam Pasal
16 ayat (8) UUJN tidak sinkron, di mana jika seoarang notaris tidak
menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi akta tersebut
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Ketentuan Pasal tersebut adalah kewajiban
dari notaris yang diamanatkan oleh UUJN bukan kewajiban para pihak, maka sanksi
dari pelanggaran kewajiban tersebut tentunya ditujukan kepada notaris bukan
para pihak artinya bahwa akta tersebut adalah milik para pihak yang ingin
hak-hak-nya terlindungi dan mendapatkan kepastian hukum akta mana ketika
kehilangan otentisitas akan merugikan para pihak khusunya pihak kreditor, sehingga
menurut penulis sanksi yang diberikan oleh UUJN mengenai penandatanganan akta
yang dilakukan di hadapan notaris tersebut tentunya harus ditujukan kepada
notaris bukan para pihak dala hal ini adalah sanksi administratif.
Hal tersebut di atas penulis mengacu pada
ketentuan sanksi yang ditegaskan dalam PerMen/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan PPAT, bahwa
ketentuan sanksi yang ditegaskan dalam UUJN berbanding terbalik dengan
ketentuan sanksi yang ditegaskan dalam PerMen/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan PPAT, bahwa
ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 16 yat (8) UUJN menegaskan adanya
penurunan status Akta Notariil menjadi Akta Di Bawah Tangan sedangkan Pasal 28
ayat (2) huruf a PerMen/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan PPAT menegaskan pemberhentian
secara tidak hormat oleh Kepala Badan Pertanahan. Hal ini telah menunjukkan
perbedaan sanksi antara notaris dan PPAT yang melakukan pelanggaran mengenai
penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Dari
dasar pemikiran penulis mengenai penandatangan akta jaminan fidusia yang tidak
dilkakukan di hadapan notaris di mana dalam pembuatannya terdiri dari beberapa
akta dalam 1 (hari) tersebut yang dapat memungkinkan seorang notaris tidak
memenuhi kewajibannya untuk tetap hadir dalam penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan para pihak dan
saksi-saksi telah dibuktikan kebenarannya melalui penelitian lapangan bahwa
mekanisme penandatanganan tersebut adalah sebagai berikut penandatangan akta tersebut
dilakukan di bank-bank dan lembaga pembiayaan.
Sehingga penulis berkesimpulan berdasarkan
data riil yang diperoleh dari hasil wawancara oleh beberapa notaris bahwa
notaris tetap konsisten terhadap kewajiban penandanatangan yang dilakukan di
hadapan para pihak dan saksi-saksi, namun hal demikian masih memungkinkan
terjadi dalam praktik yang tidak sesuai pada Ketentuan Pasal 16 ayat (1) Huruf
l UUJN dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1) Penandatanganannya
dilakukan di bank dan lembaga pembiayaan,
2) Kesibukan
pihak Kreditor,
2. Mengenai
efektivitas terhadap penandatangan akta tersebut berdasarkan pendapat para
notaris bahwa penandatangan akta tersebut telah berjalan dengan efektif dan
derajat efektivitasnya adalah ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar
cocok dengan nilai intrinsik yang
dianut para notaris sehingga derajat efektivitasnya adalah yang tertinggi.
Dari
pelanggaran notaris tersbut dapat terimplikasi timbulnya akibat hukum, sebagai
berikut :
1. Terdegradasinya
Akta Jaminan Fidusia otentik menjadi
akta di bawah tangan.
2. Dengan
terdegradasinya akta tersebut maka, mengakibatkan akta tersebut tidak dapat
didaftarkan, sehingga merugikan para pihak khususnya pihak bank.
Berdasarkan
Pasal 16 ayat (8), maka akta-akta notariil yang beredar di kota Makassar
khususnya akta jaminan fidusia bukan akta otentik melainkan akta di bawah
tangan.
B.
SARAN
1. Ketika
para pihak ingin mengklaim kasus yang terkait penandatangan akta yang tidak
dilakukan di hadapan notaris tersebut, maka para pihak dapat melakukan pembuktian
melalui alat bukti sebagai berikut :
a. Kesaksian,
b. Foto
dan rekaman video,
c. Persangakaan,
2. Diharapkan
kepada Pihak Pengawas Notaris agar mekanisme pengawasan lebih diperketat lagi
dalam mengawasi setiap produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh notaris yaitu
akta otentik agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang sesungguhnya tidak
kita inginkan bersama, agar kepastian dan perlindungan hukum para pihak tetap
terjaga dan notaris tetap konsisten terhadap tugas dan kewajibannya.
3. Seharusnya
sanksi yang diberikan UUJN terhadap penandatangan akta yang dilakukan di
hadapan notaris adalah sanksi yang memiliki sifat administrrtif, artinya bahwa
sanksi tersebut harus ditujukan kepada notaris bukan kepada akta di mana akta
adalah milik dari para pihak secara tidak langsung Ketentuan Pasal tersebut
memberikan sanksi kepada para pihak. Dengan kata lain bahwa yang melakukan
pelanggaran adalah notaris bukan para pihak sehingga sanksi tersebut juga
ditujukan kepada notaris yang telah melakukan pelanggaran.
[1]
Abdul Ghofur Anshori.2009. Lembaga
Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. Yogyakarta : UII. Pers,
hal 18.
[2]
Abdul Ghofur Anshori. Op. Cit. hal
18.
[3]
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. 2010. Hukum
Pernbankan. Sinar Grafika : Jakarta. hal. 313.
[4]
Ch. Gatot Wardoyo dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. ibid., hal. 321.
[5]
Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan
Indonesia. 2006. Pt. Citra Aditya Bakti : Bandung, hal. 481.
[6] Djuhaendah
Hasan dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Op. Cit, hal. 319.
[7]
Tan Kamello dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Ibid, hal. 319.
[8]
Djuhaendah Hasan dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Ibid, hal. 319-320.
[9] Djoni
S. Gazali dan Rachmadi Usman. Op., Cit.,
hal. 320.
[10]
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Op.
Cit., hal. 321.
[11]
Ahmadi Miru. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. hal. 39-40.
[12]
Ahmadi Miru. Op.,Cit. hal. 45.
[13]
Muhammad Djumhana. Op., Cit., hal.
511.
[14]
M. Bahsan. 2010. Hukum Jaminan dan
Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta, hal. 70-71.
[15]
M. Bahsan. Ibid., hal. 103-195.
[16] Bank Indonesia dan Thomas Suyatno dalam Djoni
S. Gazali dan Rachmadi Usman. Op. Cit., hal.
286.
[17]
H. Salim HS. 2008. Perkembangan Hukum
Jaminan di Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta, hal. 64.
[18]
Rachmadi Usman. Op. Cit. hal. 164.
[19]
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan. 2007. Hukum
Jaminan Di Indonesia Pokok-Poko Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan. Liberty
Offset Yogyakarta : Yogyakarta hal.
2.
[20]
Nur Faidah Said. 2010. Hukum Jaminan
Fidusia. Kretakupa Print : Makassar, hal. 227.
[21]
Rachmadi Usman. Op. Cit., hal. 166.
[22]
Nur Faidah Said. Op.,Cit., hal. 212.
[23]
Nur Faidah Said. Op.Cit., hal. 212.
[24]
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan dalam Rachmadi Usman. Op., Cit, hal. 165-166.
[25]
Rachmadi Usman., Op. Cit., hal. 188.
[26]
J. Satrio. 2005. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Pt. Citra Aditya Bakti
: Bandung, hal. 200-2001.
[27]
Tan Kamello. 2006. Hukum Jaminan Fidusia
Suatu Kebutuhan Yang Didambakan. PT. Alumni : Bandung, hal. 195.
[28] [28]
J. Satrio. 2005. Op., Cit, hal. 201.
[29]
G. H. S. Lumban Tobing.1983. Paraturan Jabatan Notaris.: Erlangga, hal 51-52
[30]
G.H.S. Lumban Tobing. Op. Cit. hal
53.
[31] Herlien
Budiono. Asas keseimbangan bagi hukum
perjanjian Indonesia. bandung : citra aditya
bakti. 2006. Hal. 139
[32]
Hartkamp dalam Herlien Budiono. 2006. Asas
Keseimbangan Bagi Hukukm Perjanjian Di Indonesia. Bandung : Citra Aditya
Bakti. hal . 139.
[33]
Rachmadi Usman. Op. Cit, hal. 200.
[34]
J. Satrio. Op. Cit. Hal. 245
[35]
Abdul Ghofur Anshori. Op. Cit. Yogyakarta
: UII Pers, hal. 17.
[36]
Abdul Ghofur Anshori., Ibid,. hal 18.
[37]
Helien Bodiono. 2008. Kumpulan Tulisan
Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal 217.
[38]
Herlien Budiono. Op. Cit, hal
217-218.
[39]
Abdul Ghofur Anshori. Op,. Cit, hal
18.
[40]
Herlien Budiono. Op,. Cit. hal
214-215.
[41]
Ahmadi Miru., Op., Cit, hal. 15.
[42]
Abdul Ghofur Anshori. Op.Cit, hal.
188.
[43]
Ahmadi Miru. Op,.Cit. hal. 15.
[44]
G.H.S. Lumban Tobing. 1992. Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga
: Surabaya, hal.202.
[45] http://magister-kenotariatan.blogspot.com/2012/08/notaris-penghadap-saksi-dan-akta.htm
diakses pada jam 01.00, hari minggu, tanggal 9 September Tahun 2012.
[46]
Habib Adjie. 2011. Kebatalan dan
Pembatalan Akta Notaris. Pt. Refika Aditama : bandung, hal. 66-67.
[47]
Sjaifurrachman dan Habib Adjiee. 2011. Aspek
Pertanggung Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. CV. Mandar Maju :
Bandung, hal. 125.
[48]
Husni Thamrin. 2011. Pembuatan Akta
Pertanahan Oleh Notaris. LaksBang PRESSindo : Yogyakarta, hal. 13-14.
diakses pada jam 1.00, hari rabu, tanggal 19 bulan
September Tahun 2012.
[50]
Eddy O.S. Hiarej. 2012. Teori dan Hukum
Pembuktian. Erlangga : Jakarta, hal. 93-94.
[51]
Ida Iswoyokusumo dalam M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. Sinar Grafika : Jakarta. Hal. 555.
[52]
Alan M. Gathan dalam M. Yahya Harahap. Op.
Cit. hal. 555.
[53]
Douglas Dowing dalam M. Yahya Harahap. Ibid.
Hal. 555.
[54]
M. Yahya Harahap. Ibid. hal. 556.
[55] http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html
di akses pada jam 2.30, hari jum’at, tanggal 7 september 2012.
[56]
Alvi Syahrin. 2001. Ketentuan pidana
dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
PengelolaanLlingkungan Hidup. PT. soft Media, hal. 13-14.
[57]
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Yudicial Prudence) Vol. 1 Pemahaman Awal. Jakarta: Kencana, hal. 375.
[58]
H. C. Kelman dalam Achmad Ali. Ibid. hal.
347.
[59]
Achmad Ali. Ibid., hal. 379.
[60] http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas-hukum.html
diakses pada jam 10, hari kamis, tanggal 30 Agustus 2012.
[61]
G.H.S. Lumban Tobing. 1992. Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga
: Surabaya, hal.202.
[62]
Herlien Budiono. Op.cit. hal 221.
[63]
Habib Adjie. 2011. Kebatalan dan
Pembatalan Akta Notaris. Pt. Refika Aditama : bandung, hal. 66-67.
[64]
Sjaifurrachman dan Habib Adjiee. 2011. Aspek
Pertanggung Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. CV. Mandar Maju :
Bandung, hal. 125.
[65]
Alvi Syahrin. 2001. Ketentuan pidana
dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
PengelolaanLlingkungan Hidup. PT. soft Media, hal. 13-14.
[66]
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal. 560.
[67]
Alan M. Gathan dalam M. Yahya Harahap. Op.
Cit. hal. 555.
[68]
Habib Adjie. 2011. Op.Cit., hal. 3-4.
[69]
Tan Kamello. Op. Cit. hal. 213.
[70]
Munir Fuady dalam Rachmadi Usman. Op.
Cit. hal 200.
[71] http://carapedia.com/pengertian_definisi_hukum_menurut_para_ahli_info489.html
diakses pada jam 3. 45, hari jum’at, tanggal 5 Oktober 2012.
[72] Ibid. diakses pada jam 3. 45, hari
jum’at, tanggal 5 Oktober 2012.
[73] http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas-hukum.html
diakses jam 21 : 49, hari selasa, tanggal 9 Oktober 2012.
[74]
H. C. Kelman dalam Achmad Ali. Ibid. hal.
348.
[75]
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Yudicial Prudence) Vol. 1 Pemahaman Awal. Jakarta: Kencana, hal. 375.
[76]
Habib Adjie. 2008. Sanksi Perdata dan
Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.Bandung : PT. Refika Aditama, hal. 6.
[77]
Hans Kelsen.2006. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia &
Nuansa. Hal.88.
Gimana ya, jika pembuatan akta fidusia, penghadapnya hanya satu org?
BalasHapusMaksudnya, orang ini merupakan karyawan yang dikuasakan mewakili perusahaannya (PT), sekaligus bertindak atas surat kuasa di bawah tangan dari konsumen perusahaannya tersebut..
APLIKASI KARTU KREDIT DAN KTA (PERSONAL LOANS) ONLINE
BalasHapusINGIN BUAT KARTU KREDIT ATAU KREDIT TANPA AGUNAN?
SAYA BANTU BUAT
Proses cepat syarat mudah.berkas aman. Hub Irvan via telp/sms/pin bb di 088215334251. 085600125176 dan 7EA8D6FD . via email di rooly88@gmail.com
BERLAKU UNTUK KREDIT ANDA
BalasHapusApakah Anda seorang pengusaha atau wanita? Apakah Anda stres keuangan? Anda perlu uang untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memiliki pendapatan rendah dan sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya? Jawabannya ada di sini, MichelleN Haward Kantor Pinjaman adalah jawaban untuk menawarkan semua jenis pinjaman kepada masyarakat atau siapa pun di Nees bantuan keuangan. Kami memberikan pinjaman sebesar 2% suku bunga untuk individu, perusahaan dan perusahaan di bawah kondisi yang jelas dan mudah. hubungi kami hari ini via e-mail di michellenhawardloans@gmail.com
Catatan: Semua pemohon harus di atas 18 tahun
mau tanya ia,jika dlm perjanjian akad kredit pada bank, ada kesalahan tulis pada alamat jaminan tidak sama dengan alamat sertepikat asli yg dijaminkan,apakah sah untuk dilelang,.tks
BalasHapusmau tanya ia,jika dlm perjanjian akad kredit pada bank, ada kesalahan tulis pada alamat jaminan tidak sama dengan alamat sertepikat asli yg dijaminkan,apakah sah untuk dilelang,.tks
BalasHapusHalo
BalasHapusApakah Anda seorang investor, Pemilik Bisnis, Pengusaha, Kontraktor, Petani, Memulai e.t.c? Mungkin Anda memerlukan dana untuk membeli properti, memperbaiki / membalikkan, memperbaiki layanan Anda / membangun Annisa Ahmad untuk membantu mereka yang membutuhkan arsip keuangan tujuan mereka, kami berinvestasi pada properti, proyek / bisnis dan juga menawarkan semua jenis pinjaman dengan bunga rendah. Tarif, kepada orang-orang yang tertarik dari negara manapun dengan tingkat kredit apakah Anda ditolak oleh bank atau kreditor lainnya? Kami dapat menawarkan pinjaman yang Anda butuhkan dengan harga terjangkau, kami juga membutuhkan layanan dari Pialang yang bisa merujuk orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan dan kami membayar setiap bulan untuk layanan Anda menghubungi kami melalui email di bawah ini jika Anda tertarik dengan pinjaman atau kebutuhan. investor
Email: annisaahmadlaoncompany@gmail.com
Halo
BalasHapusApakah Anda seorang investor, Pemilik Bisnis, Pengusaha, Kontraktor, Petani, Memulai e.t.c? Mungkin Anda memerlukan dana untuk membeli properti, memperbaiki / membalikkan, memperbaiki layanan Anda / membangun Annisa Ahmad untuk membantu mereka yang membutuhkan arsip keuangan tujuan mereka, kami berinvestasi pada properti, proyek / bisnis dan juga menawarkan semua jenis pinjaman dengan bunga rendah. Tarif, kepada orang-orang yang tertarik dari negara manapun dengan tingkat kredit apakah Anda ditolak oleh bank atau kreditor lainnya? Kami dapat menawarkan pinjaman yang Anda butuhkan dengan harga terjangkau, kami juga membutuhkan layanan dari Pialang yang bisa merujuk orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan dan kami membayar setiap bulan untuk layanan Anda menghubungi kami melalui email di bawah ini jika Anda tertarik dengan pinjaman atau kebutuhan. investor
Email: annisaahmadlaoncompany@gmail.com
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.